Selasa, 17 Agustus 2010

Identitas Bahasa Daerah

Mencermati Undang-Undang dasar 1945 Pasal 32 ayat 2 yang menyatakan bahwa Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional dapat diartikan kedudukan bahasa daerah dan bahasa nasional mempunyai kedudukan yangsejajar. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terutama yang menyangkut Pasal 13 ayat 2 dan Pasal 22 (butir m) memberikan ruang yang luas kepada daerah dan kelompok etnis untuk berkiprah dalam setiap aspek kehidupan. Dalam penyelenggaraan Otonomi ini, daerah mempunyai kewajiban untuk melestarikan nilai-nilai sosial budaya. Otonomi daerah sering diinterpretsikan sebagai keleluasaan daerah dalam mengatur dan menyelenggarakan pembangunan di daerahnya masing-masing dalam persoalan pembangunan.

Dengan demikian isu yang mengemuka di daerah adalah memunculkan identitas daerah dan menyebarkannya secara luas, baik melalui media masa maupun pembelajaran di sekolah-sekolah, agar keberadaan identitas diakui oleh kelompok lain yang di Indonesia ini sangat plural. Pada tataran ini, identitas etnis dianggap sebagai identitas daerah yaitu kabupaten atau provinsi.Etnis secara umum dipahami sebagai masyarakat suku, atau masyarakat yang secara tradisi memiliki persamaan identitas. Wujud identitas itu bisa dalam bentuk bahasa, tempat tinggal, pola kekerabatan, pola perkawinan, religi, arsitektur rumah, pola tempat tinggal, dan lain-lain.

Sosok yang menunjukkan bahwa seseorang beridentitas manusia dapat berwujud dalam dua kenyataan, yakni Bahasa yang menampakkan diri sebagai identitas bunyi dan tradisi(pakaian dan sarana lainnya) sebagai wujud fisik. Jika kita berada di luar daerah, kita mendengar ada orang atau sekolompok orang menggunakan bunyi "Au Latro ", serta merta kita akan berasumsi bahwa yang mengucapkan bunyi itu adalah orang Daerah. Demikian pula, kalau kita melihat seseorang “mengenakan kancut, saput dan udeng” dan disebelahnya ditemani oleh seorang wanita yang menjinjing canang sari di tangan kanannya, kita dapat memastikan bahwa orang tersebut adalah manusia Latu.

Dalam parade budaya nusantara misalnya, ada sekelompok orang yang meliakliukan tubuhnya diiringi musik tradisional beleganjur, dapat dipastikan juga bahwa kelompok kesenian tersebut adalah komunitas manusia Latu. Dalam kaitan ini kita patut berbangga karena hampir dalam setiap kesempatan simbol-simbol itu dapat dipergunakan sebagai sebuah identitas manusia Latu dalam pergaulan baik nasional
maupun Internasional. Simbol identitas inilah yang perlu dilestarikan jikalau kita
ingin melestarikan manusia Latu seutuhnya.

Seperti sudah disebutkan diatas bahwa otonomi daerah menggulirkan isu identitas
daerah. Hubungan antara identitas dengan bahasa sangatlah kuat, Gumperz (1985)
menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu alat pengidentifikasi ciri diri yang
paling maknawi. Sedangkan Duranti (1997) menyatakan bahasa secara konstan digunakan untuk pengkonstruksi dan pembeda budaya. Bahkan Kramsch (2000) mengatakan bahasa itu sebagai sistem tanda untuk mengungkapkan, membentuk dan menyimbolkan realitas budaya. Pentingnya bahasa sebagai identitas manusia, tidak bisa dilepaskan dari adanya pengakuan manusia terhadap pemakaian bahasa dalam kehidupan bermayarakat sehari-hari.Untuk menjalankan tugas kemanusiaan, manusia hanya punya satu alat, yakni bahasa. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan apa yang ada di benak mereka.

Sesuatu yang sudah dirasakan sama dan serupa dengannya, belum tentu terasa serupa, karena belum terungkap dan diungkapkan. Hanya dengan bahasa, manusia dapat membuat sesuatu terasa nyata dan terungkap. Sering manusia lupa akan misteri dan kekuatan bahasa. Mereka lebih percaya pada pengetahuan dan pengalamannya. Padahal semua itu masih mentah dan belum nyata, bila tidak dinyatakan dengan bahasa.

Di antara semua bentuk simbol, bahasa merupakan simbol yang paling rumit, halus
dan berkembang. Kini manusia telah sepakat bersama, dalam kesalingtergantungannya selama berabad-abad, untuk menjadikan berbagai suara yang mereka ciptakan dengan paru-paru, tenggorokan, lidah, gigi, dan bibir, secara sistematis mewakili peristiwa-peristiwa dalam sistem-sistem saraf mereka, sehingga bahasa disebut sebagai sistem kesepakatan (Bloomfield 1933)Sebagai sistem kognisi, bahasa dengan sistem gramatikal, bunyi serta tata tulisnya itu, dipahami sebagai sumber daya dan kekayaan mental yang setelah dipelajari, ada dalam diri manusia dan masyarakat. Sistem bahasa (langue) yang abstrak itu merupakan pemilikan (property) bersama dan ada dalam kesadaran kolektif masyarakat tutur. Pemilikan itu digunakan secara nyata dalam bentuk tuturan dan tulisan (parole) dalam wujudnya sangat bervariasi, baik variasi bentuk maupun nuansa makna dalam konteks penuturan (Sassusre 1996).

Sebagai sistem kognisi, bahasa dengan sistem gramatikal, bunyi serta tata tulisnya itu, dipahami sebagai sumber daya dan kekayaan mental yang setelah dipelajari, ada
dalam diri manusia dan masyarakat. Sistem bahasa (langue) yang abstrak itu
merupakan pemilikan (property) bersama dan ada dalam kesadaran kolektif masyarakat tutur. Pemilikan itu digunakan secara nyata dalam bentuk tuturan dan tulisan (parole) dalam wujudnya sangat bervariasi, baik variasi bentuk maupun nuansa
makna dalam konteks penuturan (Sassusre 1996). memiliki makna apa apa atau hampa makna.

Sebagai sistem mediasi, bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia
tentang dunia dan konsepsinya, tetapi juga membentuk visi tentang realitas.
Pandangan-pandangan ini merajut pada pemikiran bahwa dengan melukiskan bahasa
sebagai penjelmaan pikiran dan perasaan, yaitu budi manusia, maka bahasa itu mendapat arti jauh lebih tinggi daripada sistem bunyi atau fonem. Oleh karena itu
budilah yang melahirkan kebudayaan, maka bahasa sebagai penjelmaan dari pada budi itu adalah cerminan selengkap-lengkapnya dan sesempurna dari kebudayaan. Masyarakat yang beragam telah lama memiliki identitas yang jelas dengan bingkai sentimen primordial (agama, etnis, bahasa dan lain-lain). Bahasa sebagai identitas atau jati diri telah membangun nilai-nilai, norma, dan simbol-simbol ekspresif menjadi ikatan sosial untuk membangun solidaritas dan kohesivitas sosial.Bagi masyarakat, identitas adalah "harga diri" dan "senjata" untuk menghadapi kekuatan luar lewat simbol-simbol bahasa dan budaya. Nilai, norma dan simbol-simbol ekspresif yang terkandung dalam identitas tertentu memberikan penguatan bagi tindakan-tindakan di masa lalu, menjelaskan tindakan masa sekarang dan pedoman untuk menyeleksi pilihan-pilihan masa depan.

Dari semua kajian diatas dapatlah dikatakan bahwa bahasa itu dipakai sebagai simbol
identitas suatu masyarakat. Pada saat ini identitas daerah dalam hal ini bahasa Latu
dioperasionalkan ke dalam bentuk penyebarluasan, guna mendapat pengakuan dari
masyarakatnya. Dalam otonomi daerah ini bahasa Latu memiliki posisi yang sangat strategis. Sebagai simbol identitas, bahasa Latu dapat dimanfaatkan untuk
mengekspresikan segala bentuk ide oleh manusia Latu yang terkait dengan pembangunan wilayahnya. Hal itu tidak menimbulkan masalah besar, karena radio, TV dan surat kabar lokal dapat digunakan sebagai media untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan simbol identitas ini pada masyarakatnya, karena bahasa Latu masih tergolong kelompok bahasa besar di Indonesia. Tidak demikian halnya jikalau bahasa daetah dikategorikan sebagai kelompok bahasa minoritas.

Semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki
kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi beda jenis" (Kaplan & Manners, 2000: 77-78). Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh Malinowski dan Brown (dalam Kuper, 1996; 40). Bahasa daerah selain mempunyai fungsi utama untuk mengexpresikan ide yang terkait dengan budaya daerah juga sekaligus menjadi identitas manusia. Apabila Bahasa daerahsebagai unsur dari sistem budaya pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya, maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya.

Bahasa daerah adalah kekayaan daerah yang merupakan indentitas daerah. Sebagai kekayaan daerah seharusnya dilestarikan oleh pemerintah daerah. Hal ini mencegah punahnya bahasa daerah sebagai identitas daerah tersebut. Bahasa daerah sebagai alat untuk memperkaya bahasa Indonesia yang harus dibina dan dikembangkan. Bahasa daerah memiliki fungsi yang sangat besar dalam masyarakat di suatu daerah. Pertama, sebagai bahasa lokal dalam satu suku. Kedua, sebagai bahasa dalam adat istiadat di daerah. Ketiga, sebagai kekayaan budaya daerah. Di Mandailing Natal misalnya dijumpai bahasa Mandailing, bahasa Siladang yang unik, bahasa Muara Sipongi, bahasa Jawa, Batak,dan pesisir. Mungkin di daerah lain juga memiliki bahasa daerah yang beragam yang kesemuanya itu merupakan kekayaan daerah. Bilamana bahasa daerah dapat dilestarikan suatu daerah akan dikenal terutama dari dialek bahasa daerah itu sendiri.

Dalam sisi yang lain bahasa daerah pada umumnya adalah bahasa pertama yang dikuasai anak. Sering disebut dengan bahasa ibu atau mother tangue. Bahasa pertama ini paling banyak merespos anak sehingga otaknya secara behevioris menyikapi respons. Anak tersebut memahami bahasa yang meresponnya yang pada akhirnya menjadi bahasa pertamanya. Bila seorang anak memiliki bahasa ibu berupa bahasa daerah maka bahasa Indonesia menjadi bahasa keduanya. Ia menguasai bahasa kedua setelah sekolah karena teman sekolahnya berasal dari latar yang berbeda. Namun tidak dipungkiri seseorang memiliki bahasa lebih dari dua atau multi language. Bila kita melihat keadaan bahasa daerah saat ini berada pada ancaman kepunahan karena tidak dijaga dan dilestarikan. Pemerintah daerah tidak benar-benar memperhatikan bahasa daerah yang ada di daerahnya.

Pada tulisan ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam melestarikan bahasa daerah di daerahnya masing-masing . Pertama, menjadikan bahasa daerah sebagi muatan lokal pada pendidikan yang formal di daerahnya. Kedua, membuat program wisata bahasa di daerah. Ketiga, mengadakan lomba menulis cerita berbahasa daerah di daerahnya. Semua ini langkah melestarikan bahasa daerah.

Tidak ada komentar: