Selasa, 31 Agustus 2010

First of all, maaf sebanyak-banyaknya karena tulisan ini untuk tatapanmu sahabat.. Sejujurnya, tiada niat lain titipan ini terhasil, melainkan sebagai tanda persahabat padamu sahabat, yang sesungguhnya aku kasihi hanya kerana Allah. Moga Allah berkati setiap persahabatan dan pintu hati kita semua terbuka untuk ambil baik dari-Nya.


Sahabat,

Alhamdulillah.. Almost 2 years we knew each other. 2 tahun terbaik dalam hidup, yang pastinya takkan dan sagat mustahil untuk dilupakan. Sahabatku, Allah takdirkan kita hadir dalam hidup ini di waktu dimana tercari- cerai makna dan haluan hidup yg sebenar. Kau tunjukkan jalan untuk aku mengenali Allah dan Rasul seperti yang dikehendakiNya. Kau bimbing diri yg serba jahil dan ‘tak tahu’ ini untuk menjadi at least ‘jadi paham. Alhamdulillah... U could never imagine how grateful I am (and we are) to have u in our life, giving us the wonderful colours..Truly!

Tapi kenapa sahabat, sejak akhir ini, semakin selalu aku dengar kabar sedih dari dirimu? Pertama wajib untuk kau faham bahawa aku bukan sekali mengeluh degan khabar itu! Tidak dan takkan sekali2! In fact, aku bersyukur sebab terpilih untuk jadi tempat kau luahkan masalah.. Walaupun diri ni tak byk membantu, tapi kau pilih juga aku untuk mendengar..jazakillah

Tapi sahabatku, sudah setahun lebih kita di sini- di alam yg baru ini.. Aku tak nafikan, aku juga lemah.. Selalu tercari2 makna takdir yg Allah tentukan.. Alhamdulillah, hasil dorongan family dan sahabat2 yg tak pernah putus jd sumber kekuatan, and of course, belas kasihan dari Allah yg Maha Penyayang..I'm getting better..Segala puji bagi Allah..

Sahabat, bukan ini dirimu yg ku kenal. Jgn pernah berubah sahabat..

Sahabatku yg kukenal sgt kental jiwanya. Rela berdiri dgn gagahnya walaupun hanya dia, asalkan tahu kebenaran itu miliknya! Sahabatku yg ku kenal juga sanggup kekal di situ, walaupun melihat pendirian yg kau perjuangkan, dan perubahan yg kau mahu tidak diendahkan. Kau juga sanggup menetapkan hatimu dan menguatkan perasaanmu walau diuji pelbagai kesulitan.. Itu dirimu yg ku kenal!

Sahabat,

Suatu hari ketika di A&E, seorang makcik dibawa ke rhesus dlm keadaan menangis.. Dia jatuh ketika sedang bekerja di satu pusat membeli belah- ketika sedang membuang sampah. Hati terdetik, makcik setua ini masih bekerja seberat itu?

“ Tak nak operate.. tak nak operate..” Sadis aku mendengarkannya. Tangisannya seperti kanak2 kecil.

Right hip x-ray- intertrochenteric fracture..

Bila aku smpi berita tu padanya, dgn serta merta- “ Makcik da ok! Da sihat.. Tak sakit dah. Boleh jalan dah..” Waktu tu, not even a single movement at her right hip..

Dalam waktu yg sama aku melihat seorang pemuda mengintai2 pintu rhesus dalam keadaan mata yg merah dan muka yg basah dgn air mata.. He requested to see a male doctor, who’s also my friend. Rupa2nya pemuda itu adalah anak patient ku tadi. Dia merayu pada kawan ku utk membeli hensetnya, kerana mereka yg hanya tinggal berdua, menyewa di sebuah bilik kecil, don’t have money even for registration!

Aku terus keluar berjumpa pemuda itu yg masih teresak2 di luar rhesus sambil memeluk beg galasnya..

“ Kenapa sedih sgt ni dik..”

“ Akak.. Saya ada mak saya je kat dunia ni. Esok baru saya nak start keje 1st day.

Tiba2 jadi begini.. saya xde duit langsung kak... mcm mana nak byr duit hospital? Kalau kene bedah, saya takda duit lansung kak..”
Mencurah2 air mata pemuda itu tanpa segan...

Sahabatku,

Lihatlah bagaimana mereka berjuang dgn takdir hidup mereka.. Bagaimana dgn kita sahabat? Tanyalah sesiapa shj, pasti akan kata profesion kita ini mulia if betul pembawakannya. But on top of that, what about us? Tak dinafikan, ramai yg realized diri mereka tak sesuai jadi doctor once start bekerja.. Tapi siapa kita nak melawan takdir sahabatku? Hari ini kita di sini, but who knows di mana kita pd hari esok dan esok.. dan hiduplah to the fullest for today... Redha dan syukur sahabat dgn takdir yg cantik ini.

Sahabat,

Kita harus sedar, semakin byk keluhan, semakin resah dan sempit rasa dada.. If kita keep saying “ I don’t like this and that..” despite of, “ Alhamdulillah, permudahkan Ya Allah..”, selagi tu hari2 kita sukar dan penat sahabat..

Jom sahabat, kita sama2 bangun! Bukankah kita sudah ada impian untuk manage the first female hospital in Malaysia? It still on..so on! So kita kena kuat!
Jadikan mati sebagai ingatan.. hidupkan sisa hari2 kita dalam syukur dan tenang. Jgn sampai Allah jemput kita kembali dlm ketidaksyukuran, dalam kegusaran akan takdirnya, dan dlm kerebahan. Nauzubillah!!

Sahabat dunia akhirat ku..

Sekali lagi, i’m truly sorry sebab cannot put all these in words.. I’m hardly thinking of this decision for long times. And finally, tulisan ni pun terzahir jg sbb I really want u to be happy my dear. To be the real you, who inspired us most of the times! Please turn back!

Paling penting, jgn sesekali ingat aku sudah penat dengar keluhan mu sahabat. Tidak dan takkan sekali2. I’ll be here for you and will always be.. Kan kita dah janji nak bersahabat lagi di syurga? =) Moga Allah melindungimu sahabatku.. Moga kau bahagia dan tenang selalu...

Jumat, 20 Agustus 2010

BAHASA DAN BUDAYA

Keaneka ragaman suku bangsa di Indonesia, dengan 746 bahasa daerah, tidak hanya menunjukkan keaneka ragaman bahasa saja, namun juga mencerminkan keaneka ragaman budaya disertai keberadaan kearifan-kearifan lokal dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hayati dengan habitat ekosistemnya yang bermuatan konsep konservasi. Kearifan-kearifan tersebut merupakan norma-norma sosial yang berlaku dan dihormati bagi suatu komunitas yang lintas maupun yang spesifik komunitas. Ba-nyak di antara kearifan-kearifan tersebut bermuatan hakekat nilai luhur sebagai konsep ideal, walaupun beberapa diantaranya bermuatan “negatip” bagi semangat pembangunan. Nilai-nilai luhur tersebut. Perkembangan ilmu pengetahuan/teknologi dan kemajuan industri belum mendapat perhatian. Memudarnya bahasa-bahasa daerah dengan nilai-nilainya luhur yang dikandungnya sejalan dengan kurang-nya kepedulian, perhatian, dan semakin tererosinya bahasa daerah.

Mother Tongue sebagai sebuah keniscayaan mungkin tidak perlu dipertentangkan, tetapi melihat fenomena arus perubahan yang akhir-akhir ini semakin deras melanda dan melumat semua aspek kehidupan yang pernah diyakini sebagai sesuatu yang mapan dan tidak mungkin berubah juga sebuah keniscayaan, maka paradigma berpikir banyak orang, termasuk para ahli bahasa sudah saatnya untuk ditata dan dikaji ulang. Banyak pihak beranggapan bahwa pendapat yang mengatakan Mother Tongue akan punah suatu ketika nanti terlalu ekstrim dan mengada-ada. Mother Tongue tidak akan punah dan tidak akan pernah punah. Berubah pasti, tetapi punah tidak. Edith Lam, seorang guru matematika, yang membantu dua peneliti bahasa, Veronica Hsueh and Tara Goldstein, yang mengamati dan merekam bagaimana bahasa ibu dapat membantu siswa menguasai bahasa asing, ternyata memperoleh simpulan yang cukup mengejutkan. Bahasa ibu ternyata tidak hanya membantu para siswa berkomunikasi antar mereka tetapi juga membantu penguasaan bahasa asing lebih cepat. Lalu bagaimana dengan perubahan yang pasti terjadi pada keberlangsungan dan kebertahanan bahasa ibu? Seperti kata Price Pritchett bahwa ‘perubahan selalu datang sambil membawa hadiah’, maka perubahan yang pasti datang mungkin tidak perlu terlalu dirisaukan karena toh pasti ada manfaat yang dapat dipetik dari perubahan yang ada

Sosiolinguistik bukanlah sekedar pembahasan “campuran” antara ilmu bahasa dan sosiologi atau ilmu sosial lainnya, tetapi di dalamnya juga mencakup prinsip-prinsip setiap aspek kehidupan yang berkaitan dengan fungsi sosial dan kultural. Oleh karena itu, agar pembahasan di sini tidak meluas, saya membatasinya pada “Bahasa dan Budaya” sebagai aspek kultural kehidupan sehari-hari. Banyak ahli dan peneliti sepakat bahwa bahasa dan budaya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sebut saja di antaranya Suryadi, dosen Politeknik Medan, dalam makalahnya Hubungan Antara Bahasa dan Budaya, 2009. Ia menyebutkan bahwa bahasa adalah produk budaya pemakai bahasa. Sebelumnya, pakar-pakar linguistik juga sudah sepakat antara bahasa dan budaya memiliki kajian erat. Kajian yang sangat terkenal dalam hal ini adalah teori Sapir-Whorf. Kedua ahli ini menyatakan, “Jalan pikiran dan kebudayaan suatu masyarakat ditentukan atau dipengaruhi oleh struktur bahasanya” (Chaer, 2003:61).
Sementara itu, Piaget, seorang sarjana Perancis, menyebutkan bahwa budaya (pikiran) akan membentuk bahasa seseorang. Dari sinilah lahir teori pertumbuhan kognisi oleh Piaget. Sedikit berbeda dengan itu, Vigotsky, sarjana Rusia, berbendapat bahwa perkembangan bahasa lebih awal satu tahap sebelum berkembangnya pemikiran (budaya) yang kemudian keduanya bertemu sehingga melahirkan pikiran berbahasa dan bahasa berpikir. Noam Chomsky juga sepakat bahwa kajian bahasa memiliki erat kaitan dengan budaya. Demikian halnya dengan Eric Lenneberg yang memiliki kesamaan pandangan dengan teori kebahasaan yang dikemukakan oleh Chomsky dan Piaget (Chaer, 2003:52-58). Lantas, bagaimanakan hubungan dan keterkaitan antara bahasa dan budaya, inilah yang akan kami coba ulas dalam tulisan singkat berikut ini, tentunya berdasarkan teori-teori yang sudah ada dan mengaitkan sedikit dengan lokalitas keacehan sebagai tempat (daerah) masalah ini kita diskusikan.

Di dunia terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang kebetulan sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami kesalahpahaman ketika mereka menggunakan kata yang sama. Oleh karenanya suatu masyarakat bahasa, dituntut adanya kesamaan atau keseragaman bahasa di antara para anggotanya. Tanpa adanya keseragaman bahasa, hubungan sosial akan runtuh, sebab di antara anggota masyarakat itu tidak akan terjadi saling mengerti dalam berkomunkasi verbal. Seperti halnya Masyarakat Indonesia yang majemuk yang sangat kaya dengan berbagai macam bahasa daerah memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.

Walaupun demikian disisi lain perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik. Permasalahan silang budaya dan bahasa dapat terjembatani dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat diawali dengan pengenalan bahasa dan ciri khas budaya tertentu.

Dengan demikian sebagai orang terpelajar harus bisa memposisikan diri dengan memperhatikan beberapa hal sebagaimana Mudjia Rahardjo katakan bahwa penggunaan bahasa akan terus berbeda tergantung pada situasi, yaitu apakah situasi itu publik atau pribadi, formal atau informal, dengan siapa kita bicara, dan siapa yang mungkin ikut mendengarkan kata-kata itu. Satu hal yang tak terpisahkan dari pilihan-pilihan yang kita buat dalam penggunaan bahasa yaitu dimensi budaya. Telah dikukuhkan oleh para ahli bahasa bahwa bahasa sebagai alat komunikasi secara genetis hanya ada pada manusia. Implementasinya manusia mampu membentuk lambang atau memberi nama guna menandai setiap kenyataan, sedangkan binatang tidak mampu melakukan itu semua. Bahasa hidup di dalam masyarakat dan dipakai oleh warganya untuk berkomunikasi. Kelangsungan hidup sebuah bahasa sangat dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi dalam dan dialami penuturnya. Dengan kata lain, budaya yang ada di sekeliling bahasa tersebut akan ikut menentukan wajah dari bahasa itu.

Chaer (2003:30) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”. Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964:21), Wardhaugh (1997:3), Trager (1949:18), de Saussure (1996:16), dan Bolinger (1975:15), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984:16) juga sepakat bahwa bahasa adalah alat komunikasi. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983: 1) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi. Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005:169). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.
Setelah para ahli sepakat menyataka bahwa bahasa adalah “alat” dalam berkomunikasi, sebagai alat tentunya ada yang menggunakan alat tersebut sehingga ia dapat dimanfaatkan (sebagai komunikasi). Dalam hal ini pengguna atau pemanfaat bahasa adalah manusia (terlepas kajian ada tidaknya bahasa juga digunakan oleh hewan) yang selanjutnya disebut sebagai penutur. Orang atau manusia yang mendengar atau yang menjadi lawan pentur disebut dengan “lawan tutur” atau “pendengar” atau “lawan bicara”. Dalam interaksi antara penutur dan lawan tutur inilah timbul beberapa perilaku berdasarkan pemikiran masing-masing sehingga lahirlah kebiasaan atau budaya. Budaya dan kebiasaan ini akan berbeda tergantung siapa dan di mana bahasa atau pengguna bahasa itu berada.

Bahasa sebagai hasil budaya atau kultur mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa misalnya, terdapat ungkapan berbunyi mengandung nilai ajaran. Penelitian Dede Oetomo pada tahun 1987 (Sumarsono dan Partana, 2002:336) menyebutkan bahwa bahasa juga dapat mempengaruhi kelompok. Anggapan ini berdasarkan pengamatannya terhadap etnik Cina di Pasuruan dengan melihat tutur masyarakat Cina di sana sehari-hari. Ia berkesimpulan bahwa masyarakat Cina dapat dikelompokkan menjadi Cina Totok dan Cina Pernakan. Ini menunjukkan bahwa bahasa itu dapat mencerminkan identitas kelompok. Bahasa yang tidak dapat terlepas dari budaya juga dibuktikan oleh Blom dan Gumperz (Sumarsono dan Partana, 2002:338). Berdasarkan penelitiannya pada tahun 1972 terhadap sebuah guyup di Norwegia yang menggunakan dialek lokal dan ragam regional bokmal (satu dari dua ragam baku bahasa Norwegia) terbukti bahwa masyarakat pengguna dialek masing-masing itu mengalami perbedaan penyampaian bahasa sebagai media komunikasi, terutama saat sampai pada di mana dan tujuan komunikatif apa mereka menggunakan bahasa tersebut. Ada bentuk-bentuk tertentu yang digunakan para penutur dari kedua dialek berbeda itu dalam menandai inferensi (simpulan) tak langsung terhadap komunikasinya, yang hanya dapat dipahami oleh penutur dari dialek tersebut.

Kebudayaan menurut Clifford Geertz sebagaimana disebutkan oleh Fedyani Syaifuddin dalam bukunya Antropologi Kontemporer yaitu sistem simbol yang terdiri dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Senada dengan pendapat di atas Claud Levi-Strauss memandang kebudayaan sebagai sistem struktur dari simbol-simbol dan makna-makna yang dimiliki bersama, yang dapat diindentifikasi, dan bersifat publik. Adapun Gooddenough sebagaimana disebutkan Mudjia Rahardjo dalam bukunya Relung-relung Bahasa mengatakan bahwa budaya suatu masyarakat adalah apa saja yang harus diketahui dan dipercayai seseorang sehingga dia bisa bertindak sesuai dengan norma dan nilai yang berlaku di dalam masyarakat, bahwa pengetahuan itu merupakan sesuatu yang harus dicari dan perilaku harus dipelajari dari orang lain bukan karena keturunan. Karena itu budaya merupakan “cara” yang harus dimiliki seseorang untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dalam hidupnya.

Dalam konsep ini kebudayaan dapat dimaknai sebagai fenomena material, sehingga pemaknaan kebudayaan lebih banyak dicermati sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan bermasyarakat. Karenanya tingkah laku manusia sebagai anggota masyarakat akan terikat oleh kebudayaan yang terlihat wujudnya dalam berbagai pranata yang berfungsi sebagai mekanisme kontrol bagi tingkah laku manusia. Adapun Menurut Canadian Commision for UNESCO seperti yang dikutip oleh Nur Syam mengatakan kebudayaan adalah sebuah sistem nilai yang dinamik dari elemen-elemen pembelajaran yang berisi asumsi, kesepakatan, keyakinan dan aturan-aturan yang memperbolehkan anggota kelompok untuk berhubungan dengan yang lain serta mengadakan komunikasi dan membangun potensi kreatif mereka.

Dengan demikian kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial, oleh para anggota suatu masyarakat. Sehingga suatu kebudayaan bukanlah hanya akumulasi dari kebiasaan dan tata kelakuan tetapi suatu sistem perilaku yang terorganisasi. Dan kebudayaan melingkupi semua aspek dan segi kehidupan manusia, baik itu berupa produk material atau non material. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang majemuk, yang terdiri dari berbagai budaya, menjadikan perbedaan antar-kebudayaan, justru bermanfaat dalam mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat dalam tatanan sosial agama, dan suku bangsa telah ada sejak jaman nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan secara damai merupakan kekayaan yang tak ternilai dalam khasanah budaya nasional.

Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di dalam bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi kebudayaan dan cara berpikir manusia atau masyarakat penuturnya.

Menurut Koentjaraningrat sebagaimana dikutip Abdul Chaer dan Leonie dalam bukunya Sosiolinguistik bahwa bahasa bagian dari kebudayaan. Jadi, hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada dibawah lingkup kebudayaan.10 Namun pendapat lain ada yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan mempunyai hubungan yang koordinatif, yakni hubungan yang sederajat, yang kedudukannya sama tinggi. Masinambouw menyebutkan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua sistem yang melekat pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu.Dengan demikian hubungan bahasa dan kebudayaan seperti anak kembar siam, du buah fenomena sangat erat sekali bagaikan dua sisi mata uang, sisi yang satu sebagai sistem kebahasaan dan sisi yang lain sebagai sistem kebudayaan.

Fenomena Antara Bahasa Dan Budaya Bahasa bukan saja merupakan "property" yang ada dalam diri manusia yang dikaji sepihak oleh para ahli bahasa, tetapi bahasa juga alat komunikasi antar persona. Komunikasi selalu diiringi oleh interpretasi yang di dalamnya terkandung makna. Dari sudut pandang wacana, makna tidak pernah bersifat absolut; selalu ditentukan oleh berbagai konteks yang selalu mengacu kepada tanda-tanda yang terdapat dalam kehidupan manusia yang di dalamnya ada budaya. Karena itu bahasa tidak pernah lepas dari konteks budaya dan keberadaannya selalu dibayangi oleh budaya.

Dalam analisis semantik, Abdul Chaer mengatakan bahwa bahasa itu bersifat unik dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain.11 Umpamanya kata ikan dalam bahasa Indonesia merujuk kepada jenis binatang yang hidup dalam air dan biasa dimakan sebagai lauk; dalam bahasa Inggris sepadan dengan fish; dalam bahasa banjar disebut iwak. Tetapi kata iwak dalam bahasa jawa bukan hanya berarti ikan atau fish. Melainkan juga berarti daging yang digunakan juga sebagai lauk (teman pemakan nasi). Malah semua lauk seperti tahu dan tempe sering juga disebut iwak.

Selain itu dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang mewakili latar belakang budaya, pandangan hidup dan status sosial yang berbeda, maka makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan. Umpamanya kata butuh dalam masyarakat Indonesia di Pulau Jawa berarti perlu, tetapi dalam masyarakat Indonesia di Kalimantan berarti kemaluan. Demikian pula dalam bahasa jawa terdapat tingkat tutur ngoko, tingkat tutur madya, tingkat tutur karma misalnya kata aku, kulo, dalem kawula atau kata kowe, sampeyan, panjenengan, paduka. Tingkat tutur ngoko memiliki makna rasa tak berjarak antara orang pertama dengan orang kedua misalnya. karma adalah tingkat yang memancarkan arti penuh sopan santun antara sang penutur dengan mitranya. Madya adalah tingkat tutur menengah yang berada antara ngoko dan karma. Banyak orang menyebut bahwa tingkat tutur ini setengah sopan dan setengah tidak sopan.

Efektivitas komunikasi antarmanusia sangat tergantung pada pemahaman tentang nilai. Nilai adalah sesuatu yang abstrak tentang tujuan budaya yang akan kita bangun bersama melalui bahasa dan simbol, baik verbal maupun nonverbal. Dengan nilai, seseorang menentukan sesuatu itu boleh atau tidak boleh Kecerdasan verbal dengan pondasi kultural yang mantap akan menjadi bekal yang sangat berguna bagi anak dalam menatap dunianya ke depan. Kecerdasan verbal, sebagai salah satu sekian macam kelebihan multiaspek manusia, di samping kecerdasan emosional, musikal, spiritual, dan sebagainya, akan secara aktif bekerja, baik ketika mendapat rangsangan ataupun tidak. Ketika seorang anak memaknai sebuah pesan yang didapatnya secara langsung maupun tak langsung, memori dalam otaknya akan otomatis bekerja untuk mendefinisikan pesan itu secara proporsional. Ketika seorang anak berhadapan dengan dunia yang lebih majemuk, dua hal ini akan memainkan perannya secara bersamaan. Pondasi budaya yang kuat dan sarat dengan nilai-nilai luhur akan menyaring informasi-informasi yang masuk secara bijak. Kecerdasan verbal akan membantu dari segi penalaran dan penyampaian. Dua dasar di atas juga membantu anak untuk bersikap rasional, menggunakan kecerdasan untuk melakukan tidakan terbaik dalam suatu keadaan. Dengan kecerdasan verbalnya, anak bisa mengutarakan jalan pikirannya, melontarkan ide-idenya, mengomunikasikan perasaannya kepada orang lain, dengan cara yang baik, terstruktur, dan easily understandable. Dengan landasan budaya yang kokoh, kegiatan komunikasi yang ia lakukan akan berjalan dengan baik sesuai dengan esensi nilai budaya yang dianutnya. Kegiatan komunikasi akan berjalan dengan baik, santun, dan akrab.

Selasa, 17 Agustus 2010

Identitas Bahasa Daerah

Mencermati Undang-Undang dasar 1945 Pasal 32 ayat 2 yang menyatakan bahwa Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional dapat diartikan kedudukan bahasa daerah dan bahasa nasional mempunyai kedudukan yangsejajar. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah terutama yang menyangkut Pasal 13 ayat 2 dan Pasal 22 (butir m) memberikan ruang yang luas kepada daerah dan kelompok etnis untuk berkiprah dalam setiap aspek kehidupan. Dalam penyelenggaraan Otonomi ini, daerah mempunyai kewajiban untuk melestarikan nilai-nilai sosial budaya. Otonomi daerah sering diinterpretsikan sebagai keleluasaan daerah dalam mengatur dan menyelenggarakan pembangunan di daerahnya masing-masing dalam persoalan pembangunan.

Dengan demikian isu yang mengemuka di daerah adalah memunculkan identitas daerah dan menyebarkannya secara luas, baik melalui media masa maupun pembelajaran di sekolah-sekolah, agar keberadaan identitas diakui oleh kelompok lain yang di Indonesia ini sangat plural. Pada tataran ini, identitas etnis dianggap sebagai identitas daerah yaitu kabupaten atau provinsi.Etnis secara umum dipahami sebagai masyarakat suku, atau masyarakat yang secara tradisi memiliki persamaan identitas. Wujud identitas itu bisa dalam bentuk bahasa, tempat tinggal, pola kekerabatan, pola perkawinan, religi, arsitektur rumah, pola tempat tinggal, dan lain-lain.

Sosok yang menunjukkan bahwa seseorang beridentitas manusia dapat berwujud dalam dua kenyataan, yakni Bahasa yang menampakkan diri sebagai identitas bunyi dan tradisi(pakaian dan sarana lainnya) sebagai wujud fisik. Jika kita berada di luar daerah, kita mendengar ada orang atau sekolompok orang menggunakan bunyi "Au Latro ", serta merta kita akan berasumsi bahwa yang mengucapkan bunyi itu adalah orang Daerah. Demikian pula, kalau kita melihat seseorang “mengenakan kancut, saput dan udeng” dan disebelahnya ditemani oleh seorang wanita yang menjinjing canang sari di tangan kanannya, kita dapat memastikan bahwa orang tersebut adalah manusia Latu.

Dalam parade budaya nusantara misalnya, ada sekelompok orang yang meliakliukan tubuhnya diiringi musik tradisional beleganjur, dapat dipastikan juga bahwa kelompok kesenian tersebut adalah komunitas manusia Latu. Dalam kaitan ini kita patut berbangga karena hampir dalam setiap kesempatan simbol-simbol itu dapat dipergunakan sebagai sebuah identitas manusia Latu dalam pergaulan baik nasional
maupun Internasional. Simbol identitas inilah yang perlu dilestarikan jikalau kita
ingin melestarikan manusia Latu seutuhnya.

Seperti sudah disebutkan diatas bahwa otonomi daerah menggulirkan isu identitas
daerah. Hubungan antara identitas dengan bahasa sangatlah kuat, Gumperz (1985)
menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu alat pengidentifikasi ciri diri yang
paling maknawi. Sedangkan Duranti (1997) menyatakan bahasa secara konstan digunakan untuk pengkonstruksi dan pembeda budaya. Bahkan Kramsch (2000) mengatakan bahasa itu sebagai sistem tanda untuk mengungkapkan, membentuk dan menyimbolkan realitas budaya. Pentingnya bahasa sebagai identitas manusia, tidak bisa dilepaskan dari adanya pengakuan manusia terhadap pemakaian bahasa dalam kehidupan bermayarakat sehari-hari.Untuk menjalankan tugas kemanusiaan, manusia hanya punya satu alat, yakni bahasa. Dengan bahasa, manusia dapat mengungkapkan apa yang ada di benak mereka.

Sesuatu yang sudah dirasakan sama dan serupa dengannya, belum tentu terasa serupa, karena belum terungkap dan diungkapkan. Hanya dengan bahasa, manusia dapat membuat sesuatu terasa nyata dan terungkap. Sering manusia lupa akan misteri dan kekuatan bahasa. Mereka lebih percaya pada pengetahuan dan pengalamannya. Padahal semua itu masih mentah dan belum nyata, bila tidak dinyatakan dengan bahasa.

Di antara semua bentuk simbol, bahasa merupakan simbol yang paling rumit, halus
dan berkembang. Kini manusia telah sepakat bersama, dalam kesalingtergantungannya selama berabad-abad, untuk menjadikan berbagai suara yang mereka ciptakan dengan paru-paru, tenggorokan, lidah, gigi, dan bibir, secara sistematis mewakili peristiwa-peristiwa dalam sistem-sistem saraf mereka, sehingga bahasa disebut sebagai sistem kesepakatan (Bloomfield 1933)Sebagai sistem kognisi, bahasa dengan sistem gramatikal, bunyi serta tata tulisnya itu, dipahami sebagai sumber daya dan kekayaan mental yang setelah dipelajari, ada dalam diri manusia dan masyarakat. Sistem bahasa (langue) yang abstrak itu merupakan pemilikan (property) bersama dan ada dalam kesadaran kolektif masyarakat tutur. Pemilikan itu digunakan secara nyata dalam bentuk tuturan dan tulisan (parole) dalam wujudnya sangat bervariasi, baik variasi bentuk maupun nuansa makna dalam konteks penuturan (Sassusre 1996).

Sebagai sistem kognisi, bahasa dengan sistem gramatikal, bunyi serta tata tulisnya itu, dipahami sebagai sumber daya dan kekayaan mental yang setelah dipelajari, ada
dalam diri manusia dan masyarakat. Sistem bahasa (langue) yang abstrak itu
merupakan pemilikan (property) bersama dan ada dalam kesadaran kolektif masyarakat tutur. Pemilikan itu digunakan secara nyata dalam bentuk tuturan dan tulisan (parole) dalam wujudnya sangat bervariasi, baik variasi bentuk maupun nuansa
makna dalam konteks penuturan (Sassusre 1996). memiliki makna apa apa atau hampa makna.

Sebagai sistem mediasi, bahasa tidak hanya menggambarkan cara pandang manusia
tentang dunia dan konsepsinya, tetapi juga membentuk visi tentang realitas.
Pandangan-pandangan ini merajut pada pemikiran bahwa dengan melukiskan bahasa
sebagai penjelmaan pikiran dan perasaan, yaitu budi manusia, maka bahasa itu mendapat arti jauh lebih tinggi daripada sistem bunyi atau fonem. Oleh karena itu
budilah yang melahirkan kebudayaan, maka bahasa sebagai penjelmaan dari pada budi itu adalah cerminan selengkap-lengkapnya dan sesempurna dari kebudayaan. Masyarakat yang beragam telah lama memiliki identitas yang jelas dengan bingkai sentimen primordial (agama, etnis, bahasa dan lain-lain). Bahasa sebagai identitas atau jati diri telah membangun nilai-nilai, norma, dan simbol-simbol ekspresif menjadi ikatan sosial untuk membangun solidaritas dan kohesivitas sosial.Bagi masyarakat, identitas adalah "harga diri" dan "senjata" untuk menghadapi kekuatan luar lewat simbol-simbol bahasa dan budaya. Nilai, norma dan simbol-simbol ekspresif yang terkandung dalam identitas tertentu memberikan penguatan bagi tindakan-tindakan di masa lalu, menjelaskan tindakan masa sekarang dan pedoman untuk menyeleksi pilihan-pilihan masa depan.

Dari semua kajian diatas dapatlah dikatakan bahwa bahasa itu dipakai sebagai simbol
identitas suatu masyarakat. Pada saat ini identitas daerah dalam hal ini bahasa Latu
dioperasionalkan ke dalam bentuk penyebarluasan, guna mendapat pengakuan dari
masyarakatnya. Dalam otonomi daerah ini bahasa Latu memiliki posisi yang sangat strategis. Sebagai simbol identitas, bahasa Latu dapat dimanfaatkan untuk
mengekspresikan segala bentuk ide oleh manusia Latu yang terkait dengan pembangunan wilayahnya. Hal itu tidak menimbulkan masalah besar, karena radio, TV dan surat kabar lokal dapat digunakan sebagai media untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan simbol identitas ini pada masyarakatnya, karena bahasa Latu masih tergolong kelompok bahasa besar di Indonesia. Tidak demikian halnya jikalau bahasa daetah dikategorikan sebagai kelompok bahasa minoritas.

Semua sistem budaya memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki
kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan mati, atau dia akan berubah menjadi sistem lain tetapi beda jenis" (Kaplan & Manners, 2000: 77-78). Pendekatan fungsional ini dikembangkan oleh Malinowski dan Brown (dalam Kuper, 1996; 40). Bahasa daerah selain mempunyai fungsi utama untuk mengexpresikan ide yang terkait dengan budaya daerah juga sekaligus menjadi identitas manusia. Apabila Bahasa daerahsebagai unsur dari sistem budaya pada suatu saat tidak mampu memberikan fungsinya, maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya.

Bahasa daerah adalah kekayaan daerah yang merupakan indentitas daerah. Sebagai kekayaan daerah seharusnya dilestarikan oleh pemerintah daerah. Hal ini mencegah punahnya bahasa daerah sebagai identitas daerah tersebut. Bahasa daerah sebagai alat untuk memperkaya bahasa Indonesia yang harus dibina dan dikembangkan. Bahasa daerah memiliki fungsi yang sangat besar dalam masyarakat di suatu daerah. Pertama, sebagai bahasa lokal dalam satu suku. Kedua, sebagai bahasa dalam adat istiadat di daerah. Ketiga, sebagai kekayaan budaya daerah. Di Mandailing Natal misalnya dijumpai bahasa Mandailing, bahasa Siladang yang unik, bahasa Muara Sipongi, bahasa Jawa, Batak,dan pesisir. Mungkin di daerah lain juga memiliki bahasa daerah yang beragam yang kesemuanya itu merupakan kekayaan daerah. Bilamana bahasa daerah dapat dilestarikan suatu daerah akan dikenal terutama dari dialek bahasa daerah itu sendiri.

Dalam sisi yang lain bahasa daerah pada umumnya adalah bahasa pertama yang dikuasai anak. Sering disebut dengan bahasa ibu atau mother tangue. Bahasa pertama ini paling banyak merespos anak sehingga otaknya secara behevioris menyikapi respons. Anak tersebut memahami bahasa yang meresponnya yang pada akhirnya menjadi bahasa pertamanya. Bila seorang anak memiliki bahasa ibu berupa bahasa daerah maka bahasa Indonesia menjadi bahasa keduanya. Ia menguasai bahasa kedua setelah sekolah karena teman sekolahnya berasal dari latar yang berbeda. Namun tidak dipungkiri seseorang memiliki bahasa lebih dari dua atau multi language. Bila kita melihat keadaan bahasa daerah saat ini berada pada ancaman kepunahan karena tidak dijaga dan dilestarikan. Pemerintah daerah tidak benar-benar memperhatikan bahasa daerah yang ada di daerahnya.

Pada tulisan ini ada beberapa cara yang dapat dilakukan pemerintah daerah dalam melestarikan bahasa daerah di daerahnya masing-masing . Pertama, menjadikan bahasa daerah sebagi muatan lokal pada pendidikan yang formal di daerahnya. Kedua, membuat program wisata bahasa di daerah. Ketiga, mengadakan lomba menulis cerita berbahasa daerah di daerahnya. Semua ini langkah melestarikan bahasa daerah.