Selasa, 07 September 2010

Bahasa Dan Politik

Di dunia terdapat berbagai kelompok manusia dengan budaya dan subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila terdapat kata-kata yang kebetulan sama atau hampir sama tetapi dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari budaya yang berbeda boleh jadi mengalami kesalahpahaman ketika mereka menggunakan kata yang sama. Oleh karenanya suatu masyarakat bahasa, dituntut adanya kesamaan atau keseragaman bahasa di antara para anggotanya. Tanpa adanya keseragaman bahasa, hubungan sosial akan runtuh, sebab di antara anggota masyarakat itu tidak akan terjadi saling mengerti dalam berkomunkasi verbal. Seperti halnya Masyarakat Indonesia yang majemuk yang sangat kaya dengan berbagai macam bahasa daerah memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.

Walaupun demikian disisi lain perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut. Pluralisme masyarakat, dalam tatanan sosial, agama dan suku bangsa, telah ada sejak nenek moyang, kebhinekaan budaya yang dapat hidup berdampingan, merupakan kekayaan dalam khasanah budaya Nasional, bila identitas budaya dapat bermakna dan dihormati, bukan untuk kebanggaan dan sifat egoisme kelompok, apalagi diwarnai kepentingan politik. Permasalahan silang budaya dan bahasa dapat terjembatani dengan membangun kehidupan multi kultural yang sehat; dilakukan dengan meningkatkan toleransi dan apresiasi antarbudaya. Yang dapat diawali dengan pengenalan bahasa dan ciri khas budaya tertentu.

Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga dapat dimaknai sebagai representasi budaya, serta pandangan politik dan ideologi dari kelompok tertentu. Sebagai representasi budaya, bahasa yang sama bisa memiliki makna yang berbeda dalam budaya yang berbeda. Bahkan, tak sedikit orang yang anti dan tidak pernah mau memakai atau menggunakan bahasa tertentu sebagai representasi budaya yang tidak disukainya. Atau sebaliknya, banyak orang yang cenderung suka menggunakan bahasa dari budaya tertentu yang disukainya.

Bahasa sejatinya tak bisa tumbuh dalam ruang hampa politik. Bahasa dan politik senantiasa berinteraksi dalam jalinan rindu-dendam sejalan dengan waktu dan karakter zaman. Di banyak tempat, otoritarianisme memperlakukan bahasa sebagai senjata untuk penyeragaman, pembungkaman, hegemoni pemaknaan, dan birokratisasi. Lalu, demokrasi semestinya mengembalikan bahasa sebagai alat ekspresi bebas setiap orang, komunitas, dan lokalitas. Dalam demokrasi, bahasa difungsikan sebagai pemeliharaan keragaman dan penjaga interaksi berbasis kesetaraan antarberbagai kelompok. Inilah kurang lebih formula generiknya.


Namun, bahasa juga memiliki ruang dan waktu. Secara pelan dan pasti, pemisahan dan penggunaan bahasa ini pun kini sedikit demi sedikit mulai terkikis dan luntur. Meskipun sisa-sisa feodalisme masyarakat masih tetap ada. Dalam panggung politik praktis, bahasa juga menjadi cermin ideologi. Malah tidak berlebihan jika dikatakan bahwa ideologi membentuk dan dibentuk oleh bahasa. Melalui ideologi orang memberikan makna pada realitas tertentu dengan menggunakan bahasa tertentu yang dirumuskan melalui sebuah kata dan kalimat, sehingga membentuk realitas tertentu.

Chaer (2003) menyebutkan bahwa bahasa adalah alat verbal untuk komunikasi. Sebelumnya (1994), ia menegaskan bahwa bahasa sebagai “suatu lambang bunyi yang bersifat arbitrer yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat untuk berinteraksi dan mengidentifikasi diri”. Chaer mengemukakan definisi bahasa itu berdasarkan pandangan Barber (1964), Wardhaugh (1997), Trager (1949), de Saussure (1996:16), dan Bolinger (1975), yang kemudian, Badudu (1989:3) dan Keraf (1984) juga sepakat bahwa bahasa adalah alat komunikasi. Pendapat lainnya dikemukakan oleh Brown dan Yule (1983) yang menyatakan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi. Lebih dari itu, kedua pakar linguistik ini menyebutkan dalam penggunaannya bahasa (language in use) merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Dalam bahasa Brown dan Yule, hal ini disebut dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’. Artinya, ada kebiasaan dan kebudayaan dalam menggunakan bahasa sebagai media/alat berkomunikasi. Budaya adalah pikiran, akal budi, yang di dalamnya juga termasuk adat istiadat (KBBI, 2005). Dengan demikian, budaya dapat diartikan sebagai sesuatu yang dihasilkan dari pikiran atau pemikiran. Maka tatkala ada ahli menyebutkan bahwa bahasa dan pikiran memiliki hubungan timbal-balik dapat dipahami bahwa pikiran di sini dimaksudkan sebagai sebuah perwujudan kebudayaan.

Menurut salah seorang ahli antropologi linguistik, Sapir Whorf (dalam Deddy Mulyana, 2005), bahasa bukan hanya sekadar deskriptif atau sarana untuk melukiskan suatu fenomena serta lingkungan. Lebih dari itu, bahasa juga dapat memengaruhi cara kita melihat lingkungan kita. Pandangan ini kemudian dikembangkan menjadi dua bagian, deterministik linguistik dan relativitas linguistik. Deterministik linguistik memandang bahwa struktur bahasa mengendalikan pikiran dan norma-norna budaya. Sedang relativitas linguistik, melihat bahwa karakteristik bahasa dan norma budaya saling mempengaruhi. Budaya dikontrol sekaligus mengontrol bahasa. Bahasa juga menyediakan kategori-kategori konseptual yang mempengaruhi bagaimana persepsi para penggunanya dikode dan disimpan.

Dalam alur pikir tersebut, bahasa tak pernah dapat dipisahkan dari sebuah kekuasaan politik. Sebagai negara yang konon menganggap paling demokratis dan humanis seperti Amerika Serikat sekalipun, para elite politiknya juga kerap menciptakan bahasa yang disusun dan dirumuskan melalui sebuah kata, istilah, atau terminologi; sebut saja, misal ”teroris”, ”kaum fundamentalis”, dan ”poros setan”. Semua istilah tersebut diciptakan dan disebarkan secara masif. Tentu, bermuatan politik dan berusaha agar Amerika tetap menjadi pihak yang dominan.

Bahasa menunjukkan bangsa. Identitas dan citra diri seseorang di mata orang lain pun dipengaruhi oleh bagaimana cara berkomunikasi. Selain itu juga pemilihan kata, istilah, serta intonasi tekanan suara. Semua akan dapat mencerminkan identitas dan citra diri seseorang yang sedang berbicara. Namun, sebagaimana sebuah bahasa yang juga mengenal konteks dan waktu, agar menarik gaya komunikasi juga harus mengikuti selera masyarakat yang selalu mengalami perubahan dari konteks waktu ke waktu. Termasuk gaya dalam komunikasi politik. (Hendra Kusuma, 2008).

Secara teoretik, Edward T. Hall (dalam Deddy Mulyana, 2005), dalam konteks budaya menyebut gaya komunikasi dapat dibedakan ke dalam bentuk gaya komunikasi konteks tinggi dan gaya komunikasi konteks rendah. Gaya bicara dalam komunikasi konteks tinggi ini, orang lebih suka berbicara secara implisit, tidak langsung, dan suka basa-basi. Salah satu tujuannya, untuk memelihara keselarasan kelompok dan tidak ingin berkonfrontasi. Dengan kata lain, agar tidak mudah menyinggung perasaan orang lain. Komunikasi budaya konteks tinggi, cenderung lebih tertutup dan mudah curiga terhadap pendatang baru atau orang asing.

Gaya komunikasi seseorang juga dapat dilihat dari retorikanya. Retorika adalah berbicara. Berbicara berarti mengucapkan rangkaian kata atau kalimat yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai tujuan tertentu. Retorika juga dapat dimaknai sebagai suatu proses komunikasi, seorang kumunikator menyampaikan pesan kepada komunikan. Menurut Sonnya K. Foss (1989: 4-5), retorika didefinisikan sebagai penggunaan kata atau bahasa untuk memengaruhi pikiran, perasaan, dan tingkah laku khalayak. Jika didasarkan pada fungsi bahasa yang mendasar, retorika menjadi sarana simbolis yang digunakan manusia untuk ”membujuk” manusia lain yang secara alami beraksi dan berkreasi dengan menggunakan simbol-simbol.


Salah satu teori yang memiliki hubungan erat dengan definisi retorika tersebut adalah teori terministic screen. Teori ini dikembangkan oleh seorang ahli bidang retorika dari Amerika Serikat, Kenneth Burke. Inti dari teori ini adalah bahwa dalam komunikasi, manusia cenderung memilih kata-kata tertentu untuk mencapai tujuannya. Pemilihan kata-kata itu bersifat strategis. Dengan demikian, kata yang diungkapkan, simbol yang diberikan, dan intonasi pembicaraan, tidaklah semata-mata sebagai ekspresi pribadi atau cara berkomunikasi, namun dipakai secara sengaja untuk maksud tertentu dengan tujuan mengarahkan cara berpikir dan keyakinan khalayak (dalam Eriyanto, 2000).


Selain itu, retorika juga dapat dimaknai sebagai seni berbicara. Sehingga setiap orang bisa memiliki gaya retorika tersendiri yang tentu saja, berbeda satu sama lainnya. Mengenai model retorika, Dori Wuru Hendrikus (2009) membagi ke dalam tiga bagian. Pertama, gaya retorika monologika atau monolog. Dalam model komunikasi ini biasanya terjadi dalam proses pidato yang bersifat satu arah, sebab hanya satu orang yang berbicara (komunikator), dan yang lain hanya sebagai pendengar (komunikan).
Kedua, dialogika. Gaya retorika ini biasanya memang jarang dapat ditemui dalam acara-acara pidato atau orasi politik yang dihadiri banyak orang (massa) di sebuah lapangan terbuka. Gaya retorika dialogika ini biasanya hanya dilakukan dalam acara-acara debat kandidat atau dialog terbuka.

Ketiga, pembinaan teknik bicara. Efektivitas monologika dan dialogika tergantung pada teknik bicara. Bahkan teknik bicara ini menjadi syarat penting dalam retorika. Mulai dari bagaimana cara mengatur pernafasan, teknik membina suara, dan berbicara. Semua harus diperhatikan dan diatur agar bicaranya bisa menjadi efektif.

Apa pun gayanya, retorika adalah sebuah seni berbicara. Semakin mahir dalam mengemas kata-kata atau istilah yang digunakan, pengaturan penekanan suara pada setiap kata yang disampaikan, tentu semakin baik. Bahkan dalam acara pidato yang dikenal selama ini hanya satu arah sekalipun, para pendengar bisa merasa seperti diajak berdialog. Suasana pun bisa menjadi semakin hidup. Bahkan pendengar bisa merasakan seperti diajak berbicara, tidak merasa hanya sekadar pendengar.

Pada dasarnya, retorika muncul sebagai bentuk interaksi sosial, yakni bagaimana komunikator memposisikan dirinya di antara khalayak. Apakah memakai gaya formal, informal, atau justru santai untuk menunjukan kesan bagaimana pembicara menampilkan dirinya. Jika seorang komunikator ingin terlihat berwibawa dan dihormati, boleh jadi dia menciptakan jarak dengan khalayak (komunikan). Misal, mengunakan kalimat yang kaku dan formal. Sebaliknya, jika komunikator ingin tampak egaliter, maka dia akan banyak memakai gaya santai dan kalimat-kalimat yang digunakan pun sederhana, lazim digunakan dalam kehidupan sehari-hari komunikannya, sehingga mudah dicerna. Namun, hal terpeting dari aspek interaksi sosial tersebut adalah, apakah komunikator tampak sejajar dengan khalayak (komunikan) atau tidak. Penggunaan kata seperti ”kita” atau ”kami” mensugestikan hubungan yang kaku, sebaliknya jika komunikator menggunakan kata ”saya” atau ”Anda” ingin mengesankan dirinya sejajar dengan khalayak.
Hal yang juga penting diperhatikan dalam retorika adalah ekspresi. Ekspresi ini dapat digunakan untuk membantu menonjolkan atau menghilangkan bagian tertentu dari teks yang disampaikan.

Bagian ini untuk memeriksa apa yang ingin ditekankan dan ditonjolkan karena dianggap penting oleh komunikator itu. Dalam teks tertulis, ekspresi ini muncul misalnya dalam bentuk grafis, gambar, foto, tabel, dan lain-lain yang dapat digunakan untuk menonjolkan bagian yang dianggap penting. Bagian yang dicetak berbeda misalnya dicetak miring dan dicetak tebal adalah bagian yang oleh komunikator dianggap penting, dan komunikator menginginkan adanya perhatian penuh dari khalayak.

Seorang komunikator tentu tidak hanya sekadar menyampaikan pesan pokok. Galibnya, komunikator perlu juga menyampaikan kiasan, ungkapan, dan metafora yang dimaksud sebagai ornamen atau bumbu dari suatu teks. Pengunaan metafora tertentu juga bisa menjadi petunjuk utama untuk mengerti makna dalam suatu teks. Metafora tertentu juga dapat digunakan oleh komunikator secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. William A. Gamson (1996:120-121) menyebut bahwa ornamen ini sebagai ”popular wisdom

Politik dapat dikenali melalui dua wajah yang saling inheren antara satu dengan lainnya. Pertama, dalam kalkulasi yang riil, politik merupakan persoalan siapa memperoleh apa (who gets what). Politik, dalam pengertian ini, pada dasarnya berkenaan dengan penjatahan sumber daya. Dalam pandangan demikian politik lalu diyakini sebagai urusan kekuasaan (power). Robertson, karena itu mengatakan bahwa politik berkenaan dengan “the nature, distribution and dynamics of power in society”. Di sisi lain, politik ternyata juga merupakan persoalan siapa mengatakan apa (who says what). Dari sisi ini politik nampak sebagai upaya atau proses komunikasi dengan menggunakan simbol-simbol atau, kata lain, bahasa (lihat, misalnya, Dye dan Zeigler, 1986:3;  Pawito, 2002:18). Penjatahan sumber daya serta bahasa, dengan demikian, menjadi dua kunci pokok dalam setiap perbincangan mengenai politik dan, dengan sendirinya, juga kekuasaan. Dalam hubungan ini bahasa berfungsi sebagai alat yang digunakan oleh para aktor politik, terutama elite politik, untuk mencapai kondisi di mana penjatahan sumber daya dapat diterima oleh kalangan luas masyarakat, setidaknya sampai periode atau kurun waktu tertentu.
         

           Secara singkat kita dapat mengatakan bahwa ungkapan simbolik menunjuk pada pesan bersifat verbal ataupun non verbal dengan makna-makna tertentu yang sangat lekat dengan nilai-nilai kultural serta filosofis. Tulisan ini lebih menitikberatkan pada ungkapan simbolik yang berupa bahasa verbal, yakni pernyataan-pernyataan dengan menggunakan kosakata tertentu yang dikemukakan oleh para elit politik Indonesia pada periode 2004 di berbagai kesempatan, terutama dalam kampanye dan wawancara dengan media massa. Ungkapan simbolik sangat banyak digunakan dalam politik. Murray Edelman bahkan mengatakan bahwa “the most conspicuously democratic institution are largely symbolic and expressive in function” (Rotunda, 1986:5). Hal demikian disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, ungkapan simbolik dapat digunakan untuk mengungkapkan gagasan-gagasan, pemikiran-pemikiran, dan persepsi-persepsi. Barangkali dapat dikatakan bahwa fungsi ini adalah fungsi yang paling umum dan mendasar.

gaimana cara berkomunikasi. Selain itu juga pemilihan kata, istilah, serta intonasi Kalau sekiranya hipotesa yang mengatakan bahwa bahasa yang digunakan menentukan cara berfikir (hipotesa Sapir-Whorf) (lihat misalnya Lucy, 1998:470-473), dan cara berfikir pada gilirannya menentukan cara bersikap dan bertindak, maka kecenderungan demikian juga akan berimplikasi terhadap pola-pola hubungan dan komunikasi dalam masyarakat. Jalinan hubungan antar idividu akan semakin ditandai oleh sifat egalitarian, dan pola komunikasi akan semakin bersifat trasaksional. Media massa dalam pada itu akan relatif semaki independent dalam mendefinisikan peristiwa serta isu-isu, dan khalayak secara relatif akanlebih memiliki kebebasan untuk mentafsirkan dan merespon pemberitaan-pemberitaan media.
         
Kendati pun demikian, kecenderungan demikian secara potensial juga dapat membawa konsekuensi semakin terkikisnya nilai-nilai ethika budaya Jawa yang sudah sering dikeluhkan lewat ungkapan wong  jowo ilang Jawane. Kecenderungan diatas dapat dilihat melalui semakin kentalnya nuansa ekspresi yang serba eksplisit (jelas, tegas), langsung kepada sasaran (to the point), dan provan (lugas,tanpa basa-basi), baik dalam menyampaikan kritik, maupun dalam menyampaikan aspirasi-aspirasi.

Senin, 06 September 2010






































Dermaga Feri Waipirit Seram Barat (Lintas Pulau Ambon- Pulau Seram)
Terdapat tiga buah Feri untuk penyembaran Ambon-Seram. Masing-masing beroprasi dari pukuk 07.00 - pukul 18.00, setiap hari.















Pantai Hatujey Desa Latu, Seram Barat, Maluku, Indonesia.


                    
            
Kota AMbon

Sabtu, 04 September 2010

DIA DAN BETA MENJADI KITA

Aku terlahir dengan mimpi menulis sejarah, tapi kebesaran sejarah yang akan kutulis selalu terbentur dengan realita, aku saat ini berpikir bahwa menulis sejarah adalah mimpi besar. Ketika kau berhasil menulisnya, namamu akan mengalun menjadi syair, menjadi pelajaran, menjadi cerita dan akhirnya kau menjadi nyata yang dipertanyakan benar atau tidaknya kisahmu. Setelah aku dengan bodohnya menyimpulkan aku kecil tuk sebuah sejarah aku meminimalisasi menjadi cukup kisah pribadi yang sangat indah.

Aku mencari sebuah kisah cinta antara aku dan entah siapa. Tiap orang memiliki khayalan sendiri-sendiri. Khayalan itu sendiri kata orang tidak bisa menjadi kenyataan. Khayalan tetaplah khayalan gak mungkin jadi nyata tapi khayalan itu sendiri dimana seseorang hanya bisa memikirkan sesuatu yang ada dengan fikiran mereka yang tidak sesuai dengan keadaan yang ada. Semua yang dikhayalkan pasti berlebihan dan semua itu pasti yang indah dan itu terjadi karna keinginan yang terpendam.

Hidup memang seolah menggenggam air dalam tangan dan air selalu merucut ke balik tangan. Begitulah struktur dan anti struktur itu bekerja dalam jiwa sang pengarang dan sang pembaca. Untuk kemudian meletus dalam ledakan-ledakan kreatif. Ada tali hendak mengekang lajunya ledakan, tapi tak berdaya oleh desakan-desakan dalam diri yang tak tertahankan lagi.
------------------------------------------------------------------------
kepadamu ku kirimkan salam terindah
salam hangat sehangat sinar mentari
salam sayang dan cintayang tak kan pernah pudar dan berubahdalam segala macam musim
sebenarnya tak pantas aku menuliskan ini semua
 tapi karena rasa sayang dan cinta ku padamu
yang semakin hari semakin menggunung di dalam hati
ingin terus memaksa dan tak mau untuk menahan sungguh maaf aku
sampai mati menuliskan semua ini
namun bila tidak aku akan menyesal dan menyesal
apalagi cinta ini telah menyumsum dalam tulang

Dalam kehidupan, kita tidak sedar apa yang dilakukan oleh seseorang terhadap diri kita. Hal ini merupakan satu petanda yang dia mencintai kamu. Dia tidak ingin kamu tau secara terus dari pada mulut dia tetapi dia menunjukkannya melalui perbuatannya yang dilakukan olehnya yang menunjukkan bahwa dia mencintai kamu.

Kalau saja mereka semua datang padamu, dengan sebuah cinta yang mereka berikan pada mu. Aku akan datang padamu dengan semua kisah tentang pengorbanan mu, agar kau atau mereka pun tau betapa tulus nya cinta yang telah kau korbankan ini demi diri kita. Bila mereka semua rela megorbankan hidupnya hanya untukmu , rela melakukan apa saja untuk dapat kan hatimu. mereka tak akan pernah bisa , merelakan sesuatu yang aku lakukan untuk mu. Mereka semua tak akan pernah mau untuk merelakan cintanya demi kebahagiaan mu, seperti yang aku lakukan saat ini. Karena mereka datang ke dalam hidup mu , hanya untuk mendapatkan mu, dan aku setia ada di hidup mu untuk mengajarkan mu tentang ketulusan sebuah cinta yang mereka semua tak punya .

Tegar. Yang kutulis adalah untaian motivasi yang indah, gairah hidup yang menggelora, untaian kata yang menggugah rasa dan ketegaran hidup yang luar biasa. Dia entah bagaimana aku dapat melukiskan sosoknya dalam hati ku. Jujur sampai detik ini, kami baru sekaili bertemu meski perkenalan kami tengah merangkak menuju tahun kedua. Aku dan dia kenal di dunia maya tepatnya kenal melalui media chat YM. Aku akui, sebagai laki-laki aku lah yang lebih dulu mengumbar kata. Menyanjung nyanjung dirinya hingga menjadikannya terkesima pada ku. Ku lakukan itu karna begitulah perangai kebanyakan chatter muda. Dan Jika dia merespon nya maka itu bukanlah seutuhnya kesalahanku. Ku rasa Dia juga sudah dewasa, bisa memilah mana yang benar dan mana yang tidak benar. Maka ku biar kan interaksi ini berlanjut. Kebetulan kondisi ku pasca kuliah memang amat sangat mendukung.

Dia Menemaniku mengisi hari-hari, mensupport ku dan tak jarang memberikan begitu banyak saran yang bermanfaat. Aku pun banyak bercerita kepadanya tentang kondisi ku, keluargaku dan orang terdekat ku. Aku sendiri tak tahu mengapa aku bisa seterbuka ini padanya. Mungkin karena dia begitu baik, kesimpulan itulah yang aku petik.Aku menikmati kebersamaan ini. Dia Tak pernah menjauhiku, dia tak pernah hilang dari hidup ku. Aku bahagia menerima itu tak ada seorang wanita (ada juga sihh yang melebihi dirinya Ibu gue) pun yang pernah memberikan aku seperti ini melebihi dirinya. Aku tak tahu apa yang ada di pikirannya padaku. Aku Tak tahu Ia menganggap aku seperti apa. Aku tak tahu dan tak ingin mencari tahu. Meski ter kadang aku berpikir kalau sebenarnya dia begitu mencintaiku, tapi aku tepis semua itu mana ada cinta yang tumbuh tanpa adanya pertemuan.

Cinta itu melihat ada obyek yang di cintai dan ada obyek yang mencintai bukan abstrak. Maka aku biarkan antara aku dan dia mengalir seperti air, Aku tahu ia selalu ada untuk ku bahkan dalam kondisi-kondisi tersulit ku, ia membantuku, ia mendoakanku, ia seakan memberi secercah cahaya padaku. Ia membantu aku tatkala musibah menimpa ku, ia memberikan aku referensi obat ketika cacar menyerangku. Ia selalu ada dan selalu Ada. Seorang wanita yang hanya aku kenal lewat dunia maya dengan ketulusan ia senantiasa ada. menyempatkan waktu hanya untukku. Dan aku tak tahu harus memperlakukan wanita baik ini seperti apa. Dunai maya memang dunia maya tetapi cerita ini telah terbawa ke dunia nyata dan akan terus nyata.
Pertemuan di dunia maya itu diakhiri dengan saling memberikan nomor telepon. Sejak itulah, aku dan dia saling bertukar sapa, tak hanya melalui telepon, tetapi juga melalui internet. Dia hadir mewarnai hidupku.

Kian lama aku dan dirinya kian dekat. Aku dan dia bisa bertutur apa saja. Tak hanya obrolan politik, tetapi juga urusan hati. Kami pun berteman. “Ya, kita berteman dan selamanya berteman,” aku berkata seperti itu. Dia pun setuju. Dalam suatu percakapan yang entah pukul berapa, karena dunia maya tak kenal waktu, dia mengaku merindukan seseorang yang bisa mengerti akan dirinya, menjadi teman untuk mencurahkan rasa hatinya dan dia mendapatkannya dariku. Dia ingin menjadikan diriku tak hanya sekedar teman, tetapi perekat segala mimpinya.

Saat itu aku pikir, dia punya mimpi yang sama dengan aku. Dia punya bintang di langit yang berpijar menaburkan mimpi-mimpi indah, sama seperti bintang di langitku. Mulailah aku menyukainya. Lambat laun sesuatu mulai muncul di lubuk hati. Sesuatu itu bernama harapan. Tapi aku tak tahu, apakah itu juga bernama cinta. Sejak itulah, atas nama cinta hari-hari kami nikmati dengan indahnya. Kami terbakar cinta akibat panah asmara yang melancar ke dadaku. Kami bersatu, berikrar setia selamanya. Makin hari sikap dia makin manis, haha gula kali. Tapi begitulah, ia menjadi sangat perhattian Hubungan kita berjalan baik-baek saja.

Jumat, 03 September 2010

Sastra Maluku

Pada umumnya setiap bahasa manapun di muka bumi ini terbagi atas bahasa lisan dan bahasa tulisan. Dalam kesusasteraan juga dibagi atas sastera lisan dan sastera tertulis. Di Maluku, sastera tertulis jarang dijumpai. Hal ini dikeranakan bahasa di Maluku tidak mempunyai huruf (aksara) sendiri. Kesusasteraan di Maluku sebenarnya sudah ada sejak zaman pra-Islam, dengan pengertian bahwa masih belum merupakan sastera tertulis melainkan berbentuk sastera lisan. Sastera lisan di Maluku ini biasanya dituturkan secara turun temurun dari generasi ke generasi hingga saat ini. Dalam perkembangannya zaman dengan perkembangan agama Islam di daerah ini, maka sastera lisan Maluku kemudian ditulis.

Prosa Lisan Dalam Masyarakat Maluku

Cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti yang kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau. Berikut cerita rakyat yang ada di masyarakat Maluku.

Mitos

Cerita mitos merupakan kepercayaan kerana ianya dianggap benar-benar berlaku kerana mempunyai hubungan dengan kepercayaan sesuatu. Berukut akan dihuraikan cerita mitos pada masyarakat Maluku iaitu cerita mitos batu badaong. Beratus tahun yang lalu di suatu rumah yang berdindingkan daun rumbia diamlah satu keluarga. Ayahnya seorang nelayan ibunya adalah seorang ibu setia dan sangat bijaksana. Mereka memiliki dua orang anak. Yang bernama Bia Moloku. sedangkan adiknya yang laki-laki bernama Bia Mokara umurnya satu tahun. Pada suatu hari ayah mereka pergi melaut, tak lupa ditinggalkannya makanan dan telur ikan pepayana di rumahnya. Beberapa hari setelah kepergian ayahnya melaut, ibunya pergi ke kebun dan berpesan kepada anaknya, “Hai anak-anakku, jangan kamu makan telur ikan yang ditinggalkan ayahmu ini. Apabila kamu memakannya akan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Ketika adiknya Bia Mokara merasa lapar. Dimintanya makanan dan telur ikan. Kakaknya Bia Moloku tak mahu memberikan telur ikan itu kepada adiknya. Adiknya menangis, semakin lama semakin keras sahaja tangisan adiknya. Akhirnya Bia Moloku tak tega melihat adiknya menangis terus-menerus dan telur ikan itu segera diberikan kepada adiknya. Sambil tertawa adiknya memakan telur ikan itu dengan lahapnya. Setelah memakan telur itu sampai habis, beberapa sisa telur ikan itu melekat pada gigi adiknya.

Tak lama kemudian ibunya kembali dari ladang setelah membersihkan badannya, ibunya pun menggendong Bia Mokara dan menyusui Bia Mokara. Sambil menggendong Bia Mokara yang tertawa gembira karena sangat senang berada dalam pelukan ibunya. Namun, dikejutkan dengan terlihatnya sisa telur ikan yang melekat pada gigi Bia Mokara. Suasana sukacita segera berubah menjadi keheningan yang mendalam. Ibunya tertegun sekujur badannya dan marah sekali kepada kedua anaknya. Ia segera melepaskan Bia Mokara dan segera melarikan diri menyusuri pesisir pantai dan mencuburi dirinya kelaut kemudan masuk dalam sebuah batu dan menghilang untuk selama-lamanya.

Legenda

Legenda adalah satu genre dalam kelompok cerita-cerita rakyat. Pengkaji sastera rakyat kontemporari telah menggolongkan legenda sebagai salah satu genre cerita rakyat dalam bentuk tradisi lisan yang wujud dalam mana-mana masyarakat atau budaya. Beberapa definisi telah dikemukakan oleh ahli antropologi budaya tentang pengertian legenda. Mohd Khalid Taib (1991: 261) mendefinisikan legenda sebagaimana berikut: Legenda ialah sebuah pernyataan yang selalunya bercorak cerita, yang berlatarkan masa atau sejarah yang masih boleh diingat oleh masyarakat berkenaan; yang mungkin menghubungkan pengalaman masa lampau dengan yang kekinian. Legenda dipercayai benar oleh penyampainya dan oleh mereka yang menerima penyampaian cerita itu, terutama sekali apabila wujud tanda-tanda di muka bumi yang seolah-olah mensahihkan sesuatu cerita legenda itu.

Nenek Luhu

Pada zaman penjajahan Belanda, ada sebuah desa yang bernama Luhu . Desa itu terletak di Pulau Seram, Maluku. Desa Luhu adalah desa yang kaya dengan hasil cengkeh. Desa yang diperintah oleh Raja Gimelaha Luhu Tuban atau yang lebih dikenal dengan nama Raja Luhu. Sang Raja mempunyai permaisuri bernama Puar Bulan dan seorang putri bernama Ta Ina Luhu yang cantik jelita.

Suatu ketika, kabar tentang kekayaan desa Luhu di Pulau Seram terdengar oleh penjajah Belanda di Ambon. Dengan persenjataan lengkap, Belanda menyerang desa Luhu. Raja Luhu dan pasukannya berusaha untuk mengadakan perlawanan. Namun, Raja Luhu berserta keluarga dan seluruh rakyatnya tewas. Satu-satunya orang yang hanyalah putri raja, Ta Ina Luhu. Namun, ia ditangkap dan dibawa oleh penjajah Belanda ke Ambon untuk dijadikan istri, Ta Ina Luhu menolak untuk dijadikan istri oleh panglima perang Belanda Ta Ina Luhu menolaknya. Akibatnya, ia pun dirogol. Suatu malam, Ta Ina Luhu berhasil menipu tentera Belanda sehingga ia dapat melarikan diri dari kota Ambon. Ia berjalan menuju ke sebuah desa yang bernama Soya. Di desa itu, ia disambut baik oleh Raja Soya.

Setelah beberapa bulan tinggal di dalam istana Soya, Ta Ina Luhu diketahui hamil. Keadaan demikian membuatnya semakin merasa berat tinggal di istana kerana tentu akan semakin merepotkan keluarga Raja Soya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk meninggalkan istana, ia benar-benar ingin pergi dari istana secara diam-diam. Ia sengaja tidak memberitahukan kepergiannya kepada keluarga Raja Soya. Setelah sampai di halaman belakang istana, ia melihat ada seekor kuda di bawah sebuah pohon, kuda itu adalah milik Raja Soya.

Dengan hati-hati, Ta Ina Luhu naik di atas kuda itu, meskipun suasana malam terasa sangat dingin, Putri Raja Luhu itu terus memacu kuda yang ditungganginya menuju ke puncak gunung. Setibanya di sana, sang putri pun berhenti. Ia sangat takjub melihat pemandangan Teluk Ambon yang sungguh mempesona. Sang putri tiba-tiba terjatuh dari kudanya hingga tak sadarkan diri. Dalam sekejap, ia pun tertidur pulas dan terbangun pada keesokan harinya

Para pengawal istana yang mencarinya di jalan-jalan Kota Soya juga tidak menemukannya. Pada saat pencarian dilakukan, tiba-tiba seorang pengawal datang menghadap kepada Raja Soya. “Ampun, Baginda! Hamba ingin melaporkan sesuatu,” lapor pengawal itu. “Hai, apakah kamu sudah menemukan Putri Ta Ina Luhu? Di mana dia sekarang?” tanya Raja Soya dengan penasaran. “Ampun, Baginda Raja! Hamba hanya ingin melaporkan bahwa kuda milik Baginda yang ditambatkan di belakang istana juga hilang. jelas pengawal itu. Mendengar laporan itu, Raja Soya semakin panik. Ia sangat mencemaskan keadaan Putri Ta Ina Luhu yang sedang mengandung itu. Tak berapa lama kemudian, kedua pejabat istana datang menghadap kepadanya. Segera kumpulkan semua laki-laki yang berumur enam belas tahun hingga empat puluh tahun.

Sementara itu, Ta Ina Luhu masih berada di puncak gunung. Ketika hari menjelang siang, tiba-tiba ia mendengar suara orang yang memanggilnya dari jauh. Ia pun sadar bahwa orang-orang tersebut pastilah para pengawal Raja Soya yang datang mencarinya. Ta Ina Luhu terus memacu kudanya menuruni lereng gunung itu menuju ke pantai Amahusu. Kerana begitu kencangnya, topi yang dikenakannya diterbangkan angin. Menurut cerita, ketika ia ingin berhenti hendak mengambilnya, topi itu tiba-tiba menjelma menjadi sebuah batu. Batu itu kemudian diberi nama Batu Capeu.

Ketika Ta Ina Luhu hendak beranjak dari tempat itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang-orang memanggilnya.“Putri…, Putri…, Putri Ta InaLuhu…! Kembalilah. Baginda Raja Soya sedang menunggumu!” Ta Ina Luhu pun segera naik ke atas kudanya hendak melarikan diri. Namun, begitu ia akan memacu kudanya, tiba-tiba rombongan Raja Soya datang menghadangnya. Dalam keadaan terdesak, Ta Ina Luhu segera turun dari kudanya seraya berlutut memohon kepada Tuhan agar rombongan itu tidak membawanya pulang ke istana Soya. Ketika salah seorang pengawal akan menarik tangannya, tiba-tiba Ta Ina Luhu menghilang secara gaib. Rombongan pengawal tersebut pun tersentak kaget. Mereka hanya terperangah menyaksikan peristiwa ajaib itu.

Empat Kapitan

Daerah Nunusaku, dahulukala merupakan pusat kegiatan pulau Seram, penduduk pulau tersebut mula tersebar ke tempat lain yang dipimpin oleh empat orang kapitan. Mereka menyepakati tujuan arah pengembaraannya. Perbekalan dan persiapan disiapkan. Sebagaimana biasa, upacara permohan kepada yang kuasa dan juga dilakaun sebelum perjalanan dimula, mereka mula membuat sebuah rakit (gusepa) untuk menghilir sungai Tala. Pelayaran pun dimula dan sebagai pimpinannya adalah Kapitan Nunusaku, harta milik Kapitan Nunusaku dibawanya semua,

Di belakang kemudi duduk Kapitan Wattimury, di tengah Kapitan Nanlohy. Di belakang Kapitan Talakua. Untuk menjaga harta milik mereka ditunjuk Kapitan Nanlohy. Ketika tiba di tempat yang bernama Batu Pamali, rakit mereka kandas dan hampir terbaik. Ketika rakit hampir berbalik, saat itu Kapitan Wattimena tengah menbuka tempat sirih pinagnya menjadi terjatuh. Kejadian ini sangat mengecewakan kapitan yang langsung terucap menikrarkan sumpah hingga merupakan larangan bagi mata rumah Wattimena Wael.

Perjalanan pun dilanjutkan dan akhirnya mereka tiba di Tala. Di tempat itu mereka membuat suatu perjanjian dengan menanam sebuah batu perjanjian, yang kemudian dinamakan Manuhurui, lalu berubah menjadi Huse. Perjanjian yang mereka ikrarkan ialah walaupun mereka nanti bercerai berai, hubungan persaudaraan yang terbina selama ini haruslah dipertahankan. Selain itu pula, mereka harus saling tolong menolong dalam segala hal, kunjug mengunjungi satu dengan yang lain. Tempat ini kemudian menjadi suatu batu pertanda tempat kenang-kenangan dari keturunan negeri Mahariki, Amahai, Luhu dan Portho.

Setelah proses perjanjian selesai, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimuri berehat dan tidur. Sementara itu Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua naik ke atas rakit. Tiba-tiba rakit itu terbawa arus dan hanyut, Kapitan Wattimena dan Kapitan Wattimuri yang terbangun dari tidurnya melihat rakit itu hanyut yang semakin ke tengah laut hanya boleh melambaikan tangannya. Rakit yang membawa Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua terkatung-katung di Tanjung Tuhal. Mereka tak boleh menbawa rakitnya menepi. Sementara itu, Kapitan Talakua terus hanyut berbawa arus pelayaran yang hanyut itu akhirnya terdampar juga pada suatu teluk di pulau Saparua. Dimana dibangunnya negeri yang diberi nama Portho. Hal itu didengar oleh Kapitan Nanlohy dan ia pun pindah dari Luhu ke Portho untuk hidup bersama mata rumah yang besar. Kapitan Wattimena Wael dan Kapitan Wattimuri yang tetap tinggal di daerah Manuhurui di kampung Sanuhu.

Cerita Binatang

Berikut akan dihuraikan cerita benitang dalam masyarakat Maluku iaitu cerita Si Rusa dan si Kulomang. Si Rusa dan si Kulomang. Rusa di Kepulauan Aru mempunyai kemampuan berlari dengan sangat cepat. Namun, kerana kelebihan itu, mereka menjadi hewan yang sombong dan serakah, mereka mengganggap diri mereka bangsa penguasa pulau. Di sanalah hidup siput laut yang terkenal sebagai hewan yang cerdik dan sabar. Pada suatu hari, rusa menantang siput yang bernama Kulomang untuk bertanding. Selain ingin menguasai keindahan pantai, rusa ingin memuaskan hati dengan menambah koleksi kemenangan.

Rusa membawa rombongannya untuk menyaksikan pertandingan dengan wajah optimis. Tak mau kalah, siput juga membawa sepuluh temannya. Masing-masing dari mereka ditempatkan di setiap pemberhentian yang telah ditentukan. Dia meminta agar kawan-kawannya membalas setiap perkataan rusa. “Sudah siap menerima kekalahan, siput?” tantang rusa dengan sombongnya. “Siapa takut?!” kata siput pendek. Pertandingan pun dimulai. Si rusa lari secepat kilat mendahului siput. Sementara siput berjalan dengan tenang, beberapa jam kemudian, rusa sudah sampai ke pos pemberhentian pertama. Sambil bersandar kelelahan di pohon yang rimbun, rusa bergumam. “Sampai mana? Sampai di belakangmu,” jawab teman siput. Rusa kaget siput sudah berada di dekatnya, ia langsung melonjak dan lari tidak dipedulikannya rasa lelah yang dirasakannya. “Sekarang, tidak mungkin siput mampu mengejarku!” kata rusa disela engahnya. “Mengapa berpikir begitu?” ujar kawan siput yang lain santai, membalas ucapan rusa.

Tanpa berpikir panjang, rusa berlari lagi. 'Tidak ada yang boleh mengalahkanku! Apa kata rusa yang lain kalau aku mempermalukan bangsa sendiri?!” kata rusa pada dirinya sendiri. Rusa terus berlari dan berlari. Tidak lupa di setiap pemberhentian, dia memastikan keberadaan si siput. Tentu saja teman siput siap menjawab segala perkataan rusa. Memasuki pos ke 11, rusa sudah kehabisan napas. Saking lelahnya, rusa jatuh tersungkur dan mati, akhirnya, siput berhasil mengalahkan rusa yang sombong dengan cara memperdayainya.

Cerita Jenaka

Pada suatu saat terdapat seorang yang cerdik iaitu Kasim. Tidak ada henti-hentinya raja selalu memanggil Kasim untuk dijebak dengan berbagai pertanyaan atau tugas yang aneh-aneh. Setelah tiba di istana, Baginda Raja menyambut Kasim dengan sebuah senyuman. “Akhir-akhir ini aku sering mendapat gangguan perut. Kata tabib pribadiku, aku kena serangan angin.” kata Baginda Raja memulai pembicaraan. “Ampun Tuanku, apa yang boleh hamba lakukan hingga hamba dipanggil. Tanya Kasim. “Aku hanya menginginkan engkau menangkap angin dan memenjarakannya.” kata raja. tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. la tidak memikirkan bagaimana cara menangkap angin nanti tetapi ia masih bingung bagaimana cara membuktikan bahwa yang ditangkap itu memang benar-benar angin.

Raja hanya memberi Kasim masa tidak lebih dari tiga hari. Kasim pulang membawa pekerjaan rumah dari Raja. Namun, Kasim tidak begitu sedih, ia yakin bahawa dengan berpikir akan terbentang jalan keluar dari kesulitan yang dihadapi. Tetapi dua hari terlah berlalu Kasim belum juga mendapat akal untuk menangkap angin apalagi memenjarakannya. Sedangkan besok adalah hari terakhir yang telah ditetapkan Raja. Mungkin sudah takdir; kayaknya kali ini Kasim harus menjalani hukuman kerana gagal melaksanakan perintah raja. Di sela-sela kepasrahannya kepada takdir ia ingat sesuatu, iaitu Aladin dan lampu wasiatnya. “Bukankah jin itu tidak terlihat?” Kasim bertanya kepada diri sendiri. Kemudian ia menuju ke istana. Di pintu gerbang istana Kasim dipersilahkan masuk oleh pengawal kerana Baginda sedang menunggu kehadirannya. Raja pun bertanya. “Sudahkah engkau memenjarakan angin, Sudah Paduka.” jawab Kasim dengan persaan gembira sambil mengeluarkan botol.

Kemudian Kasim menyerahkan botol itu. “Mana angin itu, hai Kasim?” tanya raja. “Di dalam, Tuanku ”jawab Kasim. “Aku tak melihat apa-apa” kata Raja. “Ampun Tuanku, memang angin tak boleh dilihat, tetapi bila ingin tahu angin, tutup botol itu mesti dibuka terlebih dahulu. Setelah tutup botol dibuka raja. mencium bau busuk. bau kentut yang begitu menyengat hidung. “Bau apa ini, hai Kasim?!” tanya raja marah. “Ampun Tuanku, tadi hamba buang angin dan hamba masukkan ke dalam botol, hamba takut angin yang hamba buang itu keluar maka hamba memenjarakannya dengan cara menyumbat mulut botol.” kata Kasim ketakutan. Tetapi Raja tidak jadi marah kerana penjelasan Kasim memang masuk akal.

Cerita Lipur Lara

Sepeningalan isterinya, seorang lelaki hidup dengan anaknya iaitu Lesino namanya. Tidak lama setelah itu ayahnya berkahwin dengan seorang perempuan yang beradak satu, kedua anak ini diasuh dengan baik dan tidak dibezakan. Lama kelamaan Lesino merasa terancam, kerana perlakuan ibu tirinya semakin berbeza terhadap dirinya. Dengan mempergunakan berbagai akal busuk, ibu tiri itu berusaha untuk meyakinkani orang lain bahawa anak tirinya itu sangat jahat. Lesino kemudian menjadi sasaran kata makian dan sasaran cubitan dari ibu tirinya. Setiap hari tugas Lesino mesti mengambil air ke sumur dan bertugas untuk memasak.

Setiap balik dari tempat kerja ayahnya selalu bertanya kepada isterinya kemanakah Lesino setiap saya balik tak pernah melihat dia di rumah. Ia kalau telah penuh perutnya, tentu ke tempat tidur, jawab isterinya. Ayah si Lesino tidak tahu kalau Lesino selalu tidur di tempat penyimpanan kayu yang terletak di tepi rumah. Pada suatu malam takalah ayah dan ibunya sedang bercakap-cakap anak itu bangun dari tidurnya dan bergerak ke bawah rumah, ayahnya berada di atas rumah, Lesino melihat dari bawah rumah ayahnya lagi makan. Ayahnya menjatuhkan tulang-tulang ikan sisa makanan tepat di dekat Lesino. Lesino pun memakan tulang itu, langkah senangnya Lesino memakan tulang ikan. Tetapi tulang ikan dimakan Lesino itu tersangkut di kerongkongannya, kerana takut batuk Lesino pun menghindar dari bawah rumah itu. Ia terus menghindar ke hutan dan mencuba batuk sekerasnya agar tulang ikan itu keluar dari tengerokannya. Setelah tulang ikan itu keluar ia merasa tentram dan legah, nikmat yang dirasakan itu ia pun tak sadar bahawa ia berada di tempat itu sudah bertahu-tahun.

Takalah Lesino melihat tulang ikan itu telah berdaun lama-kelamaan daun itu semakin besar ia menyukuri keadaan itu, kerana bertambah tinggi dan besar ia memanjatnya dan duduk di atasnya cukup dengan segala persedian makanan. Tuhan memberinya rezeki berupa benang tenun. Setiap tenunan digantungnya pada pokok itu. Seorang anak raja yang hendak berburu menurut mimpinya dalam mimpinya itu ai akan mendapat rusa. Anak raja itupun terus berjalan menyusuri hutan dan sampailah dia di bawah pokok yang bertulang itu. Tiba-tiba Lesino melihat anjing di bawah pokok itu, ternyata anjing itu milik anak raja. Anak raja itu merasa terkagum melihat pokok itu dalam hatinya ia berkata inilah yang terdapat dalam mimpi saya, kerana merasa tertarik dengan kecantikan Lesino anak raja pun mengajak Lesino untuk ikut dengan dan Lesino pung bersedia untuk pergi bersamanya. Ketika sampai di istana anak raja itu memohon kepada orang tuanya agar dia boleh menikahi Lesino. Mereka pun menyutujuinya maka dibuatlah pesta pernikahan yang begitu mewah, saat itulah Lesino menjadi bahagian dari keluarga kerajaan. Sila lihat Rajah 3.1.


Makna Dalam Sastera Lisan


Lazimnya sastera lisan Maluku digunakan untuk menghibur dan mendidik masyarakat penikmatnya. Cerminan nilai yang terungkap dalam sastera lisan ini menggambarkan nilai budaya yang terkandung didalamnya. Untuk mengetahui nilai sastera lisan pada masyarakat Maluku boleh disemak dalam bahasan berikut.

Nilai Agama

Nilai yang berhubungan dengan agama terdapat pada cerita Nenek Luhu dan cerita empat Kapitan (Panglima).

Cerita Nenek luhu mengisahkan tentang seorang perempuan yang bernama Ta Ina Luhu yang hendak dinikahkan oleh seorang tentera Belanda yang beragama Kristian sementara Ta Ina Luhu adalah seorang perempuan yang taat kepada agamanya iaitu agama Islam. Ta Ina Luhu pun selalu berdoa kepada Tuhan yang Maha kuasa untuk memberi tempat yang layak untuk keluarganya di alam sana. Masyarakat Maluku pada Umumnya juga menggambarkan bahawa pada saat perang Huamual tersebut adalah perang agama dan seluruh keluarga Ta Ina Luhu mati kerana mempertahankan agama mereka. Menurut kepercayaan masyarakat tempatan, jika terjadi keadaan demikian, maka mereka tidak berani keluar rumah kerana Nenek Luhu akan mengambil siapa saja yang ditemuinya, terutama anak-anak.

Cerita legenda empat kapitan yang mengisahakan perjalanan empat orang leluhur keluarga Watimena, Talakua, dan Nanlohy dari daerah Nunusaku Pulau Seram. Walaupun pada masa itu lelehur Nunusaku masih mempercayai agama adat namun kekuasan Tuhan masih dapat dirasakan oleh masyarakat Nunusaku pada saat itu. Hal ini tergambar ketika tegi orang kapitan hendak untuk berpergian meningalakan daerah Nununsaku mereka melakukan upacara permohonan kepada Tuhan serta proses agama adat. Masyarakat adat Maluku mempercayai bahawa Tuhan adalah Upu Lanitoyang berarti Tuhan Langit. Upu Lanito juga dipercaya sebagai sumber pemberi kesejukan dan kehangatan. Dialah pemberi keadilan dan kebenaran.

Nilai Pantang Menyerah

Nilai pantang menyerah tergambar dalam cerita Nenek Luhu, dimana ketika ia tidak pernah berputus asa dalam berusaha mencari cara untuk boleh keluar dari sergapan penjajah belanda kerana tidak tahan lagi terus diperlakukan dengan tidak manusiawi. Sementara itu, nilai kemandirian Ta Ina Luhu terlihat ketika ia tidak ingin merepotkan orang lain. Itulah sebabnya, ia pergi dari istana Soya tanpa memberi tahu Raja Soya. Selain itu, cerita di atas juga mengandung nilai kesihatan.


Nilai Sosial Dan Moral

Nilai yang berhubungan dengan nilai sosial dan moral terdapat pada cerita Batu Badaong cerita Si Rusa dan si Kulomang, dan ceria Empat Kapitan.

cerita Batu Badaong mengisahkan tentang seorang ibu yang melarang anaknya untuk memakan telur ikan pepayana namun telur ikan itu pun dimakan oleh anaknya. Pada cerita batu badaong ini tergambara akan nilai sosial dan moral dimana Bia Moloku tidak taat kepada perminta sang ibu untuk tidak makan telur ikan pepayana. Sebahagian masyarakat Maluku saat ini mempercayai apabila meraka memakan telur ikan pepayana akan membawa kemalangan atau kesusaha kepada keluarganya. Namun oleh sebahagian masyarakat Maluku juga menyakini bahawa ikan papayana adalah ikan yang masih mempunyai hubungan dengan manusia sehingga ikan tersebut tidak boleh disakiti atau untuk di makan.

Cerita Rusa dan Kulomang juga terkandung nilai sosial dan moral, cerita ini mengisahkan tentang seekor rusa yang serahka dan sombong dengan kehebatanya untuk menaklukan heiwan lain. Akan tetapi kecerdikan dan kepandaian Kalamang (siput) dapat mengalahakan rusa yang sombong itu. Pesan yang boleh diambil dari cerita Rusa dan Kulomang ini adalah kecerdikan boleh membawa kepada kejayaan seseorang. Pesan sosial masing-masing, Rusa dan Siput, misalnya. Dalam episode ini diceritakan tentang keterdesakan siput pada saat harus melawan Rusa akbitnya Siput mesti memintah pertolongan kawan-kawannya untuk mengalahakan si Rusa. Pesan ini bererti bahawa kerja sama yang baik dan saling pengertian akan membawa kepada suatu kejayaan. Sementara pesan moral yang dapat tergamabar dari cerita ini ialah bahawa kesombongan akan kekuatan pribadi belum tentu akan membawa kebaikan dan hanya akan merosak diri sendiri.

Nilai sosial yang terkandung dalam cerita Empat Kapitan adalah sumpah yang dilakukan oleh keempat-empat kapitan ini iaitu mereka membuat suatu perjanjian dengan menanam sebuah batu pamali perjanjian, yang kemudian dinamakan Manuhurui, lalu berubah menjadi Huse. Walaupun mereka nanti bercerai berai, hubungan persaudaraan yang terbina selama ini mestislah dipertahankan. Selain itu pula, mereka harus saling tolong menolong dalam segala hal, kunjung mengunjungi satu dengan yang lain. Perjanjian ini oleh masyarakat Maluku pada umumnya mengenalnya dengan sebutan pela dan gandong iaitu suatu perjanjian persaudaran antara dua komuniti biasanya komuniti yang berbeza agama.


Nilai Kepahlawanaan

Nilai-nilai kewiraan tergambar dalam cerita empat Kapitang, cerita Rusa dan Kulomang, dan cerita Batu Badaong. Nilai yang dapat terlihat dalam cerita empat Kapitan, cerita ini merupakan cerita kepahalawanan yang rela mengarungi sungai Tala dari pegunungan Nunusaku menuju ke daerah panati untuk membentuk suatu komuniti yang baru. Namun, keempat-empat kapitan ini harus berpisah yang disebabkan oleh rakit mereka terhanyut arus sungai Tala, dua diantara mereka terhanyut dengan rakit tersebut, kedua orang tersebut ialah Kapitan Nanlohy dan Kapitan Talakua. Kemudian mereka ini membatuk suatu kominiti yang berbeza-beza atau membentuk identiti baru di kampung yang berbeza-beza pula.

Sementara nilai kewiraan yang terkandung dalam cerita Rusa dan Kulomang ini adalah Kulomang (siput) nekat menerima tantangan Rusa, walaupun si Kulomang menyadari bahawa dia tak mampu untuk berlari dengan cepat, tetapi Kulomang nekat menerima tentangan Rusa untuk menyelamatkan komuniti siput dari wilayahnya yang telah lama menjadi haknya. Sementara pada cerita batu badaong juga tergambar nilai kewiraan dimana ketika Bia Moloku memberi telur ikan papayana kepada adiknya Bia Mokara, ketika sang ibu mengendong Bia Mokara dan melihat bekas telur ikan papayana di mulut Bia Mokara kemudian sang ibu memberi Bia Mokara kepada kakaknya Bia Moloku untuk digendongnya dan sang ibu pun berlari menyusuri tepi pantai. Selanjutnya sang ibu meloncat ke laut, hal ini dilakukan oleh sang ibu untuk menyelamatkan anak-anaknya dari pada kemalangan. Ini juga tergambar bahawa rasa kecintaan sang ibu kepada anak walaupun nasihat yang telah disampaikannya kepada anak bahawa jangan makan telur ikan papayana tersebut.


Nilai Pendidikan dan Pengajaran

Dalam hidup Manusia mestilah cerdik dan cergas. Seperti apa yang telah dilakukan oleh Si Kulomang (siput) dalam cerita Si Rusa dan Si Kulomang. Dimana Kulomang dapat mengalahkan Si Rusa dengan kecerdikanya. Sehingga apa yang telah dilakukan oleh Kulomang merupakan pengajaran dan pendidikan kepada manusia sekarang untuk hidup cerdik dan pintar sehingga tidak boleh dibodohi orang lain.


Sastera Lisan: Antara Budaya Dan Trasisi

Dari pandangan kebudayaan, hubungan dan perilaku masyarakat Maluku terbentuk daripada hubungan Bahasa dan Kepercayaan. Penghayatan dari kehidupan keseharian masyarakat Maluku, terasa melalui proses, atau hubungan antara Bahasa dan Kepercayaan. Sifat umum masyarakat tradisional Maluku di masa kini masih terasa dan sukar untuk melepaskan kepercayaan dalam kehidupan tradisi mereka. Terdapat keinginan untuk menyimpan dan memeliharanya, dalam hal ini tidak terkecuali hasil-hasil sastera masyarakat Maluku sukar untuk melepaskan pandangan hidup lama. Kerana bahasa dan sastera lisan akan turut menyalurkan nilai-nilai yang berharga dari satu budaya masa lampau ke dalam kebudayaan masa kini.

Sastera lisan merupakan suatu bentuk kebudayaan warisan yang merakam pemikiran masyarakat Maluku. Sastera lisan tersebut memberi pengetahuan dan wawasan mengenai angan-angan dan keinginan masyarakat tentang pelbagai aspek kehidupan. Sehingga tidak mengheirankan jika sastera lisan tersebut mewariskan banyak nilai budaya yang patut dijadikan pelajaran, pendididkan, dan pengajaran.

Namun, amat disayangkan, sastera lisan ini terkadang tidak diambil kira dan bahkan diremehkan oleh sebahagian orang. Padahal melalui sastera lisan inilah wawasan dan pengetahuan seni budaya dan warisan masyarakat tempatan yang tersimpan dan diturunkan dengan mewujudkannya melalui persebaran secara lisan dari mulut ke mulut dan dari generasi ke generasi sehingga pada generasi sekarang ini. Sastera lisan merupakan sumber seni sastera daripada alam kesusteraan manusia.

Kepercayaan masyarakat terhadap cerita-cerita yang dapat menghuraikan tingkah laku masyarakat Maluku dimana masyarakat taat kepada larangan yang bersubungan dengan kehidupan sosial, cerita-cerita ini juga dibuktikan dengan kebenaran dan keberadanya. Kepercayaan masyarakat terhadap cerita yang benar-benar terjadi dapat meraka ketahui mempengaruhi tingka laku. Mereka taat kepada kepada larangan atau sumpah seperti pada cerita lengenda empat Kapitan untuk tidak boleh bermusuhan dan mesti menjaga hubungan kekeluargaan. Selain itu, cerita dapat mendorong masyarakat untuk hidup tolong menolong dalam menghadapi bahaya. Cerita-cerita tersebut juga erat hubunganya dengan lingkungan masyarakat dan lingkungan alam sekitar, cerita-cerita tersebut dapat dibuktikan secara konkrit kerana ada nama-nama tempat atau benda yang berada di Maluku, seperti batu capeo, batu badaong, sungai Tala, dan kampung-kampung yang dibentuk oleh empat Kapitan.


KESIMPULAN

Kajian ini dilakukan di Desa Latu, Provinsi Maluku, Indonesia. Desa Latu terletak di pantai barat Laut Seram. Bab ini telah memberikan pengenalan kepada kawasan kajian secara "berhiraki" berdasarkan tatatingkat pentadbiran Indonesia iaitu pada mulanya memberi gambaran tentang Provinsi Maluku, kemudian menghuraikan Kabupaten Seram Bahagian Barat serta memfokus kepada pengenalan lokasi kajian iaitu desa Latu.

Cerita rakya Maluku yang digambarakan dalam bab ini merupukan cerita legenda yang terdiri dari dua cerita iaitu cerita legenda Nenek Luhu dan cerita Legenda Empat Kapitan, sementara cerita yang yang berhubungan dengan mitos iaitu cerita Batu Badaong dan cerita dongeng binatang iaitu cerita Si Rusa dan si Kulomang. Nilai budaya yang terkandung dalam cerita-cerita ini adalah nilai agama, nilai pentang meyerah, nilai sosial dan moral, nilai kewiraan dan nilai pendidikan dan pengajaran.