Rabu, 29 Juli 2009

BUYUNG SI BOCAH YANG MAHSYUK


BUYUNG…Seorang bocah kecil sedang berasyik mahsyuk bermain di tepi pantai negeri Latu Sesekali ia menuruni bebatuan untuk kemudian menyusuri pantai berpasir kelabu. Angin Timur yang berhembus di pulau tempatnya tinggal bulan ini jauh lebih ganas dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Debur gelombang seolah sigap untuk meluluhlantakkan batu-batu sebagai didinding penahan ombak yang berdiri di sepanjang garis pantai. Deras hujan seakan hendak menunjukkan bahwa ada yang lebih berkuasa atas bumi dibanding manusia. Namun, sungguh yang demikian itu tak lantas membikin sang bocah bergeming dari tempatnya. Entah apa yang akan diperbuatnya di tengah situasi tersebut. Orang tuanya pun tak tahu berada di mana. Perlahan, dia berupaya untuk mengambil sejumput pasir pantai yang telah basah dengan tangan kanannya. Meski basah, ternyata pepasir itu cukup keras untuk bisa diraup oleh jari jemari kecilnya. Pecahan batu karang yang terbawa ombak lalu terendap di antaranya, atau kerang-kerang kecil yang kerap bersembunyi dengan membuat lubang-lubang mikro di baliknya, bisa menjadi beberapa musabab mengapa pepasir itu kemudian menjadi demikian keras.

BUYUNG…Seperti tak mau digelari ‘bocah’ walau dari perawakannya ia baru berusia sekitar empat tahun, Buyung pun lalu mempertontonkan kemampuan motorik selayak anak usia di atasnya. Masih di bawah butiran-butiran air yang tanpa paksaan meluncur bebas dari kumulus nimbus, diambilnya potongan tempurung kelapa yang terserak bebas di bawah deretan apik pepohonan mintangor yang berjarak beberapa meter dari garis batas pasang air laut. Potongan itu lantas digunakan untuk mengeruk pepasir tersebut. Setelah berhasil mengambilnya, ia pun kemudian mulai menimbun pasir-pasir itu sedikit demi sedikit. Dari gundukan pasir yang dibuatnya, sepertinya ia sedang berusaha untuk membangun sebuah istana pasir. Pemandangan tersebut layaknya sebuah isyarat untuk mendekonstruksi sebuah prasangka yang hadir di awal. Sejatinya, Buyung bukanlah seorang bocah yang begitu brilian, melainkan hanya seorang bocah yang belum semahir itu untuk melihat semesta dengan kejernihan matanya. Rasanya khalayak ramai telah sepakat menyimpan satu rahasia bahwa mendirikan istana pasir di tengah kondisi yang demikian itu adalah kesiaan belaka.

BUYUNG…Berkali ia bermimpi pasir-pasir itu bermetamorfosis menjadi sebuah istana megah bak dalam dongeng seribu satu malam, berkali itu pula ia menatap hujan menggerusnya hingga tirus. Ia lantas duduk terpekur sejenak sembari menyandarkan kedua punggung tangannya ke bawah dagu. Keletihan tergurat di rautnya yang sama sekali belum berkeriput. Rupanya gaung kegagalan yang terngiang di telinganya telah sampai ke susunan saraf pusat. Hipotalamusnya kemudian unjuk diri dengan merangsang sakus lakrimalis untuk menggulirkan buliran-buliran bening hangat dari matanya. Mitos yang diyakini awam kerap menjadi laku manusia seusianya terbukti saat itu. Dalam ketidakberdayaan, apa lagi yang bisa dilakukan olehnya? Sesaat, dahinya tampak berkernyit layaknya orang dewasa yang serius memikirkan sesuatu. Ada sesuatu yang telah membuatnya jadi resah gelisah.

BUYUNG….Sedikit demi sedikit hujan mulai menunjukkan sikap yang bersahabat. Butiran yang sedari mula sebesar biji jagung kini telah berkurang menjadi sebesar biji kecambah. Matahari pun tampaknya sudah geram dengan tingkah polah kumulus nimbus yang demikian angkuh bak raja diraja dunia. Disingkirkannya satu persatu kumpulan awan yang menghalau pandangannya. Meski ombak belum mau mengamini kehendaknya, cercahan sinarnya kini mulai mencerahkan wajah pantai yang tadi begitu lusuh. Bocah itu lalu bangkit dari ketermenungannya. Disekanya lelehan air yang tadi sempat membanjiri kedua matanya. Sepertinya, asa untuk mewujudkan legendanya kembali merekah. Potongan tempurung kelapa yang tadi telah dihempasnya lalu direngkuh kembali. Namun, tak seperti saat awal ia mengambilnya, sepenggal keraguan tergores di matanya.

BUYUNG….Suatu kejanggalan tiba-tiba saja terjadi. Ia lantas berlari dengan kencang meninggalkan pekerjaan yang sedang dilakoninya. Namun, sekeras apapun ia berusaha, kecepatannya tentu saja tidak dapat mencapai kulminasi karena pasir yang masih basah telah mempersulit gerakan kaki kecilnya. Ia terus saja berlari dan berlari hingga mencapai sebuah rumah kecil di sudut jalan tak beraspal. Rumah tak berpagar itu tampak amat sederhana ; hanya beratapkan rumbia dan dinding yang terbuat dari jalinan gaba-gaba atau pelepah sagu. Walau mungil, rumah itu terlihat begitu nyaman untuk ditinggali. Pohon asoka yang berjejer elok di muka rumah kian menambah suasana asri. Pintu rumah yang terbuka lebar seakan mempersilahkannya untuk masuk. Sebuah ayunan kecil yang tersusun dari batang bambu di samping rumah juga tak ketinggalan merayu sang bocah agar mau bermain di atasnya. Hidung bangirnya lantas mengendus wangi rempah-rempah yang banyak terdapat di desanya dari dapur yang terletak di belakang rumah. Lambungnya yang memang sedari tadi kosong mau tak mau menjadi bergejolak menuntut pemenuhan haknya. Seakan tak hirau dengan kenyataan itu, ia tetap tak beranjak dari tempatnya.

BUYUNG….Hujan kini telah benar-benar reda. Buyung lalu membentangkan kedua tangannya sambil menatap cakrawala yang sebagian masih tertutup awan. Memori jangka panjangnya lalu melayang pada sebuah dongeng yang dikisahkan Pamannya kala ia hendak terlelap. Ceritanya bertutur mengenai Abu Thalhah, seorang saudagar kafir terpandang di Madinah. Adalah ia yang hendak melamar Al-Ghuamayda binti Milhan, ibu dari seorang perawi hadits Anas bin Malik. Demi mengejawantahkan maksud tersebut, ia menawarkan tujuh kebun kurma pada perempuan itu dengan syarat dua kalimat syahadat untuk dibaku tukar. Perempuan mana yang teguh untuk tak bergeming mendapati seuntai penawaran selaksa oase di tengah teriknya pergumulan menjadi sesosok orang tua tunggal? Ya, perempuan yang dikenal dengan nama Ummu Sulaim itulah yang kemudian dengan tegas menandas : “Wahai Abu Thalhah, cukuplah keIslamanmu sebagai maharku!” Gairah keteguhannya tersebut lantas berlanjut menjadi benang merah hidayah bagi Abu Thalhah. Tak hanya sampai di situ, dengan iradah Rabbul ‘Izzati, Abu Thalhah kemudian menjelma menjadi satu dari sepuluh orang yang dijamin menginjak jannahNya. Sungguh, ia juga ingin singgah di satu tempat yang bernama surga itu.

BUYUNG Berkelindan ia dalam angan ; mempedulikan hasrat berarti mengeyahkan istana pasir yang hendak disandingkannya dengan rumah mungil di hadapannya, sebaliknya, menapaki pantai untuk membangun kembali istana pasir sama saja dengan mengubur separuh nafasnya dalam kengerian akan badai. Kengerian akan badai tidak dimaknai sebagai ketakutan menghadapi maut karena Bundanya sering berujar bahwa maut memang satu konstanta yang akan dialami setiap manusia. Bait itu ia artikan sebagai sebuah kegamangan apabila kembali harus menghadang kebengisan angin Timur dalam senyap. Kepala bocah itu kini tertunduk dalam posisi berdiri dengan mata terpejam dan bibir terkatup rapat. Kedua tangannya kini kosong tak memegang sesuatu apa pun jua. Sepoi angin mengibaskan rambut dan ujung helai bajunya. Ia terdiam. Ia termangu.

Selasa, 28 Juli 2009

FOTO_FOTO



sakit Gaya


bersama kawan-kawan dan pa Jamal sastrawan Singapor





Jamil Patty


Ruangan Kerja


Tugas lagi Tugas Lagi



Termenung



Bersama rekan-rekan di Petronas Kuala Lumpur

SEKILAS PROFIL SASTRA LATU




Sejarah tinta seng bisa bicara, tapi kapata bisa carita
hancurkan tirai kusut dan tua sioo nusa ina bukti sejarah
sombar waringin dari nunu saku tifa murkele game dong bale
hutan dan rimba suda babunga tahuri babunyi diujung binaya
siooo basudara yang satu darah ana cucu siwa lima katong buka suara
pombo putih kapata damai. Seisi bahtera bersuka ria sinar
sejarah damaikan Maluku siooo basudara yang satu darah
nusa ina tu rumah tua nunu siwa lima ooo pombo putih kapata damai
seisi bahtera bersuska ria tahuri babunyi di gunung binaya
Sinar sejarah damaikan Maluku.


Sepengal syair lagu SATU DARA yang dilantungkan oleh MAINORO sekumpulan anak Maluku, ketika termenung saya selalu menikmati dan menghayati isi yang terkandung dalam bait demi bait lantunan syair lagu ini. Sekiranya yang saya dapat dari lagu ini adalah Suatu cerita yang diyakini benar adanya oleh suatu kelompok masyarakat tertentu yang berhubungan dengan jati diri dan identitas masyarakat itu dapat saja hadir dengan versi-versi yang berbeda.

Ketika duduk di sampaing nenek sambil menikmati cahaya rembulan, merupakan kenangan manis masa kecil dengan dongen dan febal yang diceritakan padaku. Suatu kata berhikmah selalu mengawali cerita" cerita ini bohong cucu" tapi nenek tidak bohong padamu" lantas sang nenek bercerita tentang binatang-binatang yang bisa bercerita, mulai dari burung yang mendendangkan syair yang begitu syadu, sampai pada sang pahlawan yang gagah berani. Semua itu sang nenek menceritakannya sambil mengajak cucucnya memandang rembulan melalu sela dedaunan, seakan sebuah eksplorasi penyadaran image-visi-sikap bahwa kita punya negeri, Istimewahnya, usapan lembut tangan nenek terasa mengalirkan kehangatan tiada henti. Dengan logika pendek, agaknya binatang yang bicara sang pahalawan dengan kepala naga yang berkuasa memeng Cuma sebuah kebohonga.

Sungguh aku tidak pernah memahami tentang arti kebohongan yang tidak bohong, sampai sekian puluh tahun berlalu, ketika sang cucu kini menjadi seorang perantau, baruhlah sadar bahwa yang tidak bohong itu adalah nilai kebenaran dalam bentuk ungkapan filosofi serta ketukusan nurani kasih-sayang. Sebab hanya nenek yang punya ksih-sayanglah yang punya waktu untuk berbagi rasa. Tidak pernah kuduga, jika swmua itu akan ikut membentuk kepribadianku sebagai anak di Nusantara, melalui itu pula saya mengenal anak yang lain di persada Nusantara.

Sepengal kenangan di atas memberikan gambaran betapa sastra lisan dapat berfungsi sebagai media pendidika. Kendati dudah melampaui bulan dan tahun, namun syair-syair indah yang diungkapkan sang nenek dengan nilai budayanya yang kain mengakar, begitu kuat terukir dihati, sastra lisan sebenarnya tidak terpihakan dari kehidupan leluhur pada masa lampau.

Sastra masyarakat Latu ( sebua desa di Muluku tepatnya berada di Kab Seram Barat) dalah salah satu bentuk seni dan tradisi orang Latu yang cukup tua, dituturkan dari generasi ke generasi dan pengarangya tidak di kenal.

Sastra yang ada pada masyarakat Latu sangat banyak ragamnya. Ada yang ditulis dan ada yang dituturkan, ada yang dinyanyikan dengan alat musik ada pula tanpa alat musik. Cerita dan puisi tradisional masyarakat Latu pada umumnya memuat tentang hal-hal yang berhubungan dengan kepercayaan, keberania, kepahlawanan, kejadia-kejadian alam, kisah raja-raja dan cerita binatang. Didalam terkandung unsure contoh-contoh kehidupan manusia, sikap mental, keberania,kepahlawanan, kepadain, kepatuhan yang ingin yang ingin ditanamkan kepada pribadi anak.

Banyak cerita dan puisi yang telah membudaya dan telah menjadi milik masyarakat banyak diantara sastra Latu tradisional yang serbah indah dan unik, tetapi sayangn keindahan itu telah menuju kepada kepunahan yang terjadi karena makin berkurangnya seniman dan penikmatnya. Sastra lisa masyarakat Latu nyaris diangap sebagi suatu yang basa-basi yang dipentingkan tapi bukan yang utama. Padahal jika diuraikan akang mengandung nilai-nilai filosofi yang sangat mendasar untuk lebih memahami filsafat kerakyatan. Kendati demikian, nilai kefiksian itu sarat dengan semiotik yang menggiring nilainya pada suatu faktualisasi dari aktualisasi diri, setelah dunia khayal mampu memboyong visi-image-sikap dengan segala kefiksiannya.

Kebenaran dalam kebohongan ataupun kebohongan dalam kebenaran sudah merupakan realitas tidak terelakan untuk ditemukan dalam sastra lisa Latu baik ia mengungkapkan sebuha fable atau dongeng atau mitos, atau legenda, yang pasti sastra yang diungkapkan oleh masyarakat, didengar olah rakyat, dibenarkan oleh rakyat, diadakan oleh rakyat. Uniknya: ia menawarkan kesamaan visi-imege-sikap untuk menerima nilai yang ditawarkan baik sebagai kebenaran dalam kebohongan ataupun sebagai kebohongan dalam kebenaran, tidak ada bedanya. Hal utama dalah kehadiran membawa arti. Jika ia diberi arti, ia akan tetap sebagi arti yang dibawa sendiri.

Minggu, 26 Juli 2009

PERGESERAN BAHASA DAERAH AMBON


Setiap bahasa adalah abstrak. Dengan lambang yang mewakili bendanya, setiap bahasa mempunyai peraturan dan kaedah-kaedah. Mengakui fonologi sebagai ujur, sedangkan fonem sebagai sifat-sifat fonologi yang relevan yang menjadi bahagian daripada gambaran bunyi; sebagai kesatuan bunyi terkecil dengan fungsi yang berbeba-beba sebagai sifat distingtif perkataan

Nusantara adalah daerah yang luas, terdiri dari berbagai pulau kecil maupun Pulau besar. Di Nusantara terdapat keanekaragaman suku dan juga bahasa yang membina budaya majemuk, walaupun masyarakat Nusantara rata-rata menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Walaupun demikian, masyarakat Nusantara masih menggunakan bahasa daerah yang menjadi ciri khas daerah masing-masing. Umpamanya bahasa-bahasa daerah di Maluku digunakan sebagai bahasa tutur lisan, yang berkedudukan sebagai bahasa sehari-hari. Memang di Indonesia bahasa daerah adalah salah satu unsur budaya negara yang dilindungi

Para linguis telah berupaya untuk menentukan batas-batas kebahasaan dan memetakan bahasa-bahasa Maluku, untuk menyugusakan suatu gambaran yang mutakhir tentang penyajian bahasa. Walaupun sebahagian usaha telah dilakukan dalam melakukan kajian dan mendokumentasikan pelbagai bahasa yang ada di daerah Maluku yang terpisah-pisah oleh pelbagai pulau, tidaklah menghairankan bahawa berpuluh-puluh bahasa dituturkan di Pulau Seram; kesemuanya bahasa Austronesia (Collins 1982, 1983). Penulis barat mulai menulis tentang jumlah bahasa di Maluku pada abad ke-16 (Collins 1980b), ada yang berpendapat bahwa setiap kampung menggunakan bahasa yang berbeda-beda. Maka dapat dikatakan bahawa pada abad ke-17 nama beberapa bahasa daerah terutama di Ambon-Uliase sudah dikenal. Tetapi tidak diusahakan deskripsi apalagi diklasifikasikan. Perhatian yang mendalam terhadap bahasa daerah belum muncul. Dalam hal pelestarian bahasa bukan sahaja yang sudah hampir punah atau yang memang sudah punah yang harus direhabilitasi dan diselamatkan, bahasa yang masih digunakan dan masih diketahui masyarakat memerlukan bantuan untuk mendekomentasikan bahasa-bahasa yang ada di Maluku yang telah semakin ditinggalkan oleh penuturnya.

Sejak abad ke-16 Maluku terkenal sebagai daerah multilingual. Pada abad ke-17 mulai disebut beberapa nama bahasa yang berada di Pulau Buru, Seram dan Saparua; bahasa yang dituturkan di Maluku muncul dalam dialek yang sangat banyak mungkin sama dengan jumlah kampung yang ada di Maluku. Menurut sarjana Jerman G. Rumphius yang tinggal di Pulau Ambon pada abad ke-17, Pulau Ambon dialek Hatiwe dan di wilayah Islam dialek Hitu, yang dianggap paling bagus.

Menurut Rumphius dialek yang dituturkan di Ambon menggunakan banyak vokal dan lafalannya seakan-akan tersekat-sekat. Namun kini bahasa Hatiwe sudah punah dan tidak dituturkan di kampung Hatiwe lagi. Sejak ratusan tahun lalu bahasa Melayu mempunyai peranan yang sangat kuat di Maluku. Bahkan masyarakat Maluku mulai meninggalkan bahasa daerahnya sehingga dari 80 bahasa yang pernah ada di Maluku tinggal hanya beberapa kampung yang menggunakan bahasa daerahnya. Pada abad ke-16 bahasa Melayu digunakan sebagai bahasa komunikasi perdagangan dan pada waktu itu juga bahasa Melayu dipilih oleh tokoh Kristen sebagai bahasa untuk urusan Gereja. Dengan demikian terjadilah pergeseran dari bahasa daerah Maluku (Ambon) ke bahasa Melayu. Mungkin pergeseran bahasa pada abad ke-16 sampai pada abad ke-18 menyebabkan terjadinya perubahan bahasa dikalangan masyarakat Maluku

Pada abad ke-17 kota Ambon terombang ambing dengan arus sosial yang bergelora dengan intensiti yang luar biasa. Selain pergantian kekuasan kolonial dari tangan Portugis ke Belanda (VOC), sepanjang abad ke- 17 pemberontakan, hukum penggusuran dan pemindahan penduduk secara paksa, gempa bumi serta kondisi ekonomi dan sosial (Rumphius 1910, 1983, 1675) menyebabkan bahasa daerah mulai ditinggalkan dan rakyat beralih bahasa sehingga menggunakan bahasa Melayu. Pada pertengahan abad ke-19 seorang penginjil Belanda A. Van Ekris yang bertugas di Kamarian (Pulau Seram), menyusun kosa kata sebelas bahasa di daerah Seram dan Ambon yang terbagi dalam tiga bahagian yang hampir 90 halaman. Semua data itu dibandingkan dengan bahasa Kamarian kerana ia lebih menguasai bahasa itu. Seterusnya Baron G.w.c. van Hoëvell mengajukan klasifikasi bahasa tentang Seram dan Ambon yang cukup komprehensif. Namun van Hoëvell tidak memberikan dasar perbebaan yang digunakannya dalam proses yang menghasilka data tentang bahasa di Maluku

Hilangnya bahasa daerah di beberapa desa di Maluku Tengah maupun di Ambon khususnya desa-desa kristen tidak terlepas penjajahan (Pada tahun 1605, 400 ratus tahun lalu, pihak penguasa Portugis menyerahkan kota Ambon dan jajahannya kepada angkatan perang Belanda. Dengan kemenangan itu, buat pertama kalinya Belanda memperoleh tapak dan kuasa politik di Nusantara. Berbeba dengan prnguasa kolonial Portugis, sistem penjajahan Belanda tidak diurus oleh raja dan kerabatnya yang membagi-bagi anugerah dan surat) Belanda selama lebih kuran 350 tahun di Maluku. Pada awal tahun 1980-an masih dapat dihitung sebanyak 40-45 daerah yang berbeda di Maluku Tengah. Walau bagaimanapun, pada waktu itu hanya satu bahasa sahaja, iaitu bahasa Melayu Ambon. Dapat dikatakan bahwa kini di Ambon terdapat sekurang-kurangnya 200,000 penutur bahasa Melayu Ambon sebagai bahasa pertama, bahkan mungkin sebagi satu-satunya bahasa pengantar. Faktor yang mendorong perpindahan bahasa dalam hal ini yang mengakibatkan punahnya bahasa