Senin, 19 Oktober 2009

MENCOBA KEMBALI

Tradisi yang berkembang di Maluku adalah tradisi lisan. Tradisi yang kuat dan mencengkram dalam kehidupan setiap manusia Maluku. Tradisi inilah yang menjadi point plus dalam penulisan sejarah di negeri-negeri adat . Perlu dibedakan pengertian antara tradisi lisan dengan sejarah lisan.

Tradisi lisan adalah cerita rakyat yang diungkapkan melalui lisan dan dikembangkan secara berurutan juga secara lisan, namun si pelisan bukan penyaksi atau pelaku peristiwa. Berbeda dengan sejarah lisan yakni si pelisan benar-benar terlibat atau sebagai penyaksi peristiwa yang terjadi.

Sejarah lisan ini bisa diterapkan terutama dalam cakupan tempat yang kecil, yakni cakupan lingkungan. Sejarah lisan akan membangun sejarah yang lebih dalam. Peserta didik akan terbawa pada suasana sejarah yang dituturkan oleh si pelisan tersebut. Dengan cakupan yang kecil pula pemahaman bisa dioptimalkan.

Contohnya konkritnya seperti di lingkungan peserta kampung, ada cerita bersejarah. Cerita itu akan membawa rasa keingintahuan dengan rangsangan dari pencerita. Cerita yang akan dituturkan akan berdampak psikologis bagi masyarakat. Para pendengar terbawa untuk tahu dan mengerti dengan sejarah lingkungannya sendiri. Sehingga transfer budaya dari golongna tua terhadap golongan muda tidak akan terputus.

Hal itu akan berdampak lebih pada psikologis. Dampaknya para generasi muda tidak akan berorientasi pada kota. Orientasi pada kota sangatlah membebankan salah satu pihak saja. Lebih dari itu pembanguan yang digalakkan tidak akan cukup merata.
Serta perlu digaris bawahi. Sejarah lingkungan sama seperti sejarah lokal dalam memiliki cakupan yang lebih sempit. Lingkungan yang dijadikan tempat tinggal dengan pengertian dan partisipasi dari peserta didik. Melalui pengetahuan awal diharapkan sejarah lebih menarik.Melalui itu mereka bisa menulis dari hasil cerita orang lain dan menceritakan hal tersebut kembali.

Di Pulau Seram, serupa juga di daerah-daerah lain, cerita-cerita dan pengalaman zaman lampau akan lenyap dengan cepatnya. Lebih-lebih lagi pada masa sekarang di mana manusia bisa berhubung dengan cepat melalui telpon, HP, fex, email atau bertemu muka, tradisi menulis surat-surat yang panjang, penyimpanan catatan-catatan harian dan persediaan memo yang lengkap sudah menjadi tradisi yang tidak bias dihilangkan dari perkembangan zaman sekarang. Dalam keadaan seperti ini, Sejarah Lisan bisa menentukan supaya tidak semua perkembangan-perkembangan dilupai atau hilang sebagai bukti sejarah.

Satu darikelemahan yang besar di dalam usaha untuk menulis semula sejarah negeri-negeri adat yang ada di Pulau Seram ialah kekurangan sumber-sumber sejarah yang asal. Misalnya bagi sejarah negeri-negeri adat . Cuma beberapa negeri saja yang mempunyai sumber-sumber asli yang berkaitan dengan perkembangan sejarah negeri tersebut, tetapi itupun hanya terhadap kepada kurun yang ke-19 saja. Masalah ini lebih serius karena di Pulau Seram tidak terdapat satu tradisi menyimpan catatan harian, menulis dokumen-dokumen yang lain atau menulis riwayat hidup. Dalam hal ini Sejarah Lisan bisa memainkan peranan yang besar dalam memelihara dan menambahkan sumber-sumber yang ada untuk Sejarah negeri-negeri adat di Pulau Seram pada abad ini.
Di dalam usaha untuk memajukan penulisan sejarah tidak semestinya penulisan ditumpukan kepada tokoh-tokoh ternama dan peristiwa-peristiwa utama yang berlaku di sesuatu zaman. Sesungguhnya perkara ini penting, tetapi kita tidak boleh melupakan bahawa sejarah itu merangkumi juga cerita dan peristiwa rakyat biasa. Maka konsep yang bercorak sejarah suatu daerah dan juga sejrah negeri perlu diberi tempat yang sewajar. Di sinilah Sejarah Lisan sangat berguna kerana rakyat biasa tidak meninggalkan sumber-sumber bertulis. Di Pulau Seram sungguhpun tradisi bertulis berkurangan tetapi ia kaya dengan tradisi lisan. Peluang utnuk merekamkan warisan ini bias dilaksanakan melalui penelitian Sejarah Lisan.

Penggunaan Sejarah Lisan sebagai satu alat pengajaran belum digunakan dengan sepantasanya. Sejarah Lisan berdasarkan kepada kenang-kenangan seseorang yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang penting dan informasi-informasi ini sungguh bernlai di dalam memahami perisitwa-peristiwa yang saling berkait dari sudut yang luas. Sejarah Lisan adalah unitk karena ia dapat menghubungkan zaman yang lalu dan zaman sekarang melalui rakaman pengalaman-pengalaman yang bersejarah. Pita rakaman dan transkrip sejarah lisan bisa di hidupkan kembali dengan cara mengajar di sekolah-sekolah dan di institusi-institusi lain. Muzium misalnya memberikan gambaran tambahan kepada penuntut-penuntut melalui pameran, bahan-bahan yang dipetik dari buku-buku dan filem-filem. Cara ini tidak dinafikan sebagai satu cara pengajaran yang berguna di dalam kelas. Walau bagaimanapun, nilainya terbatas kepada keadaan pameran yang statik. Di sebaliknya pita-pita rakaman wawancara dengan tokoh-tokoh tertentu yang pernah memainkan peranan yang penting di dalam masyarakat boleh memberi suatu gambaran yang berkesan untuk memahami masa yang lalu itu. Rakaman-rakaman ini boleh menggambarkan perkara-perkara bersejarah yang telah berlaku di samping ianya dapat menggambarkan aspek-aspek masyarakat yang sukar untuk dipamerkan.

Peranan dan kegiatan ikatan-ikatan sejarah negeri akan dapat dikembangkan lagi sekiranya ikatan-ikatan tersebut menjalankan penelitian sejarah lisan. Ikatan-ikatan hubungan emosional Sejarah yang ditubuhkan bukan sahaja untuk menggalakkan penelitian dan menambahkan minat orang ramai terhadap sejarah tetapi juga mempunyai tanggungjawab untuk memelihara kesan-kesan sejarah negeri-negeri masing. Dalam hal ini mereka terlibat dalam pengumpulan, pemeliharaan dan penyediaan bahan-bahan tersebut untuk penyelidik sejarah harus memelihara alat-alat dan gambar-gambar mengenai kehidupan masyarakat di masa yang lalu dan musiu negeri yang telah lama tertubuh itu boleh mempamerkan bahan-bahan tersebut kepada orang lain. Begitu juga bagi tapak-tapak bersejarah yang harus dipelihara dan dibina kembali dan dikekalkan sebagai salah satu bukti sejarah masa lalu. Lembaga Sejarah dua negeri-negeri akan dapat menggiatkan lagi penilitian yang telah dijalankan. Sejarah lisan pula bisa menambahkan rancangan-rancangan lembaga sejarah khusus dalam memenuhi jurang-jurang yang terdapat dalam sejarah lokal. Jadi melalui cara ini informasi yang tidak selalunya dimasukkan ke dalam nilai-nilai tertulis akan dapat diperolehi

Kamis, 15 Oktober 2009

Kampung Tempo Dulu.

Kampung saya tidak sepertinya yang kamu lihat di tv. Tidak seperti yang yang terlintas dalam imajinasi kamu. Rangkaian rumah penduduknya semangat otonomi mereka sangat menjunjung nilai-nilai budaya . Mereka hanya membangun rumah di atas tanah, atas nama masing-masing. Lalu tetanga terdekat, adalah sejauh tiga kali melangkah dan tetanga terjauh adalah sejauh dua kali lapangan sepak bolah..

Kampung saya, kampung yang kaya dengan padang ilalang. Lalu bangun pagi kamu, hanya akan menemui pantai yang biru. Ilalang Hijau, suasana yang hening, sepi, dan langit biru. Itu saja yang kamu akan lihat dan terus lihat selama berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Sampai kamu mati.

Tidak ada yang bias diandalkan untuk merauk Rezeki di kamapung saya ini. Tetapi cengkeh, pala, coklat (kaukau) dan kelapa, tumpah ruah bagai kuah ikan yang melimpah dari mangkok. Apa bila datang musim panena cengkeh Penduduk kampung saya akan kaya-kaya. Pada saat itu Rumah mereka, walaupun kayu, tapi besar-besar. Makmurnya saat musim cengkeh kata orang kampung musim uang , sampaikan setiap rumah pasti ada yang memasang gigi emas. Bukan sebatang gigi, tapi sebaris gigi. (hahahhaah Bercanda)

Susahnya kampung kami pula hanya ada empat. Susah yang mengikat sampai ke ubun-ubun. Kampung kami saat itu hanya ada petromaks dan hanya pelita, lampu minyak, syukur-syukur punya senter, dan generator. Kampung kami ada pipa air yang mengalir dari gunung samapai jauh,,,itupun setahun sekali apabila dibersiin pipanya kalau tak besinya dijadikan besi tua hahahhah, cuma hanya peringi yang bisa diandalkan untuk cuci pakain barat juga untuk andalkan perigi, air kiroku (wae kiroku bahasa Latu,, tauuu). Menjadi tempat berkumpul ibu-ibu untuk ngerumpi sambil membolak-balik pakaian-pakain yang hendak dibersikan. Kampung kami juga tiadak ada kompor apalagi kompor gas, hanya ada dapur yang berisika tumpukan ribuan batang kayu yang asapnya mampu memedihkan mata dinosaurus. Kampung kami terdapat jalan raya apabila dilalui oleh mobil bagaikan badai debu yang menghantam di siang bolon, perihnya mata, sengatnya ronga hidung, sesaknya napas itulah yang kita dapatkan. Lalu di depan rumah setiap penduduk, berjajaran pagar bambu yang tertata rapi menghiasi tiap halama rumah.


kota terdekat pula, harus menyabung nyawa mengharung laut. Sekiranya saya bernasib baik, setiap kali libur sekolah yang panjang, (setiap kali leburan tak lah…setahun sekali itupun kalau di ajak ortu) setahun sekali akan ke kota membeli sepatu baru, tas baru dan naik mobil, sambil menggenggam erat-erat semua belanjaan, untuk ditunjuk kepada kawan-kawan apabila masuk liburan.

Suatu hal yang kami sangat bersyukur, namun dalam waktu yang sama menyesakkan dada, adalah adanya tv yang siangnya mengunakan aki, dan malamnya guna generator. Itu pun rumah-rumah tertentu. Masih teringgat akan tv yang diliki oleh kampong saya, tv berwarna hitam dan putih ini dapat menyihir ratusan penduduk kampung untuk menyaksikan atraksi si Ateng didalamnya. Senangnya kami kerana hiburan itu naluri manusia dan tv menyediakan semuanya. Walaupun waktu itu orientasi tv di kampung saya hanya pada TVRI saat itu TPI masih berorentasi di kota-kota, dan membuat saya sangat ketinggalan untuk mengenali sosok manusia yang bernama Roma Irama. Hahahah raja dangdut. Tetapi, itu lebih daripada cukup bagi bahagia itu bersemayam di sudut-sudut jiwa kami.

Sakitnya pula adalah, tv memberikan semua perkara yang ada di dunia. Makanan segera, mainan kelas elit , sorang Opah yang ada rumah batu, kompor gas, mobil, kantor pos, tokoh buku, dan koran, sedangkan semua itu tidak akan kita temui di kampung saya saat itu.

Tidak ada koran, makanan segera jauh sekali, (buah segar apa yaa di kampung saat itu) kantor pos hanya mimpi, dan sekadar dalam cita-cita, dan mainan robot-robotan hanya dongengan sedih. Kesannya kalut, membuat penduduk kampung saya merasa tidak makmur, ulu, miskin, terbuang, dan buruk. Ya, mereka hanya ada kelapa, perahu, pelita, tv, dan paling moden, pemain video dan pita video Sanggam, Ratapan Si Anak Tiri dan koleksi Jaka Sembung.


Walau kampung saya makmur, namun dalam setandan pisang, pasti ada juga yang dipatuk burung. Begitu juga halnya kampung saya, di suatu sudut kampung yang jauh, di kelilingi pohon-pohon mintangor (apa nama ilmiah pohon ini yaa) yang megah menjadi bukti hidup yang tidak bisa berbicara tentang sejarah kampung ini, pohon ini menghiasi indahnya pantai mengikuti irama gelembang panatai yang menghantam batu karang. ada seorang pemuda, yang mengabdi diri menjadi pekebun, dari dahulu, hingga sekarang, dan mungkin hingga matinya begitu. Namun daripada dia saya menemui kisah ini.

Pisang yang dipatuk burung.

Dia, bukanlah lelaki paling gelap yang pernah saya temui, namun bagi kampung kami, dialah lelaki tergelap pernah ada di kampung kami . Tubuhnya tegap, dadanya berotot dengan bahunya menjulang bagaikan gunung binaya. Semuanya berkat hari-hari menyangkul, menyobek kelapa, mengangkut pisang, dan semuanya yang berkenaan dengan hal-ihwal pertania.

Dia lelaki yang diberi asuhan yang terbaik, mudah tersenyum, sepertinya senyuman itu adalah bahasa. Sampaikan mengangkat jenazah ke kubur pun dia boleh terlepas senyum. Ajaib. Dia juga sangat lurus, seperti bayi. Apa yang kamu tanya, dia tidak pernah keras untuk menjawab, walau sekadar bertanya tentang pohon-pohon yang ada di samping rumahnya, ataupun yang bertanya itu hanya anak-anak yang baru boleh bicara. Tidak ada sebibit pun rasa mahu bermegah dalam hatinya.

Di sisi lainnya, hidupnya tidak hanya selintas kisah duka. Kesenangan seperti terenggut dari hidupnya. Kebun cengkeh ayahnya tidak luas, lalu keluarganya hanya mampu memiliki perahu dan dayung. Rumah mereka pula beratap daun rumbiah dan sudah lapu dimakana usia, dengan ayah ibu yang masih hidup, tetapi hanya sekadar mampu memberi nasihat.

Dikabarkan kepada saya, kononnya dahulu dia lelaki yang sederhana dalam pelajaran, tetapi masih mampu menyambung ke sekolah menengah. Namun jauhnya sekolah menengah yang berasrama itu, sampai harus meninggalkan keluarga selama setengah tahun.

Atas kerana itu, lelaki yang saya posting dalam tulisan ini hanya beliau seorang yang berlulusan SMP. Beliau merupaka pungung keluarga, dan sebagai harapan keluarga, dia tidak mungkin meninggalkan keluarga sampai setengah tahun, sepertinya larangan memakan buah khuldi, boleh sahaja jatuh durhaka. Syukurnya, boleh juga dia membaca, menghitung dan tidak perlu sampai pada jejang berikutnya… okelah..kata beliau sihh hhahahahahah

Waktu itu, saya masih kecil, teringat kelas 3 SD kali satu, dan selepas sekolah, saya suka bertemu lelaki itu yang menjadi kawan saya, walau dia, usianya lebih tau 2 tahun lebih dari saya. Bukan kerana di kelas saya tidak ada rakan sebaya, namun kerana beliau seorang pemanjat pohon yang linca saat itu saya selalu di bawah kemana-mana semua kawan sebaya saya, semuanya di atas 100 % kuasa si Beruk sapan kawan itu, saya menjadi orang terbaik untuk diberitahu, “pohon kelapa kami udah bisa diambil buahnya, ayah saya lagi sedang tidaj ada di kebun kelapa" hahahah… dasar si Beruk..

Saya masih kecil, namun untuk memahami begitu, saya tidak sudi. Penyelesaiannya, saya berkawan saja dengan lelaki itu. Setidak-tidaknya dia hanya ada banyak pohon kelapa.

Seperti hari-hari biasa, datangnya saya ke rumah lelaki itu dengan pedang kayu yang saya paksa ayah saya buat. Semuanya gara-gara drama Ninja. Pedang kayu itu, harta yang saya sangat sayang dan tidak ragu-ragu dibawa tidur. Bersama pedang kayu, saya akhir sampai ke rumah lelaki itu yang sedang rehat di atas pagar rumah, dan berbahasa senyum dengan saya. Di tangannya ada sebatang penah dan sekeping kertas putih yang mungkin dia ambil dari buku adiknya yang kelas satu.

“Tulis apa?” pertanyaan. saya, sambil terus mengayun-ayun pedang.

Dia tersenyum, menampakkan gigi. Namun, tiba-tiba malu-malu dan ragu-ragu terpasang teguh di balik senyumannya itu. Aneh, tidak seperti biasanya, dia tidak pernah ragu-ragu hendak menjawab.

“Kamu kecil lagi, nanti kamu sudah besar, kamu akan tahu,” katanya tersenyum.

“Dia tulis surat cinta untuk anak ketua kelas,” jerit satu suara dari dalam rumah yang keras itu. Pasti suara adiknya yang kelas satu SD. Cinta? Saya yang waktu itu hanya tau drama Operah Ateng dan Ninja mengaru-garu kepala, sebelum tersenyum-senyum malu sendiri. Ternyata di hadapan saya itu, ada hal yang mengejutkan hati saya, hal orang dewasa. Namun, seketika saya mengerut dahi dan memandang lelaki di hadapan saya yang masih tersenyum malu sendiri. (Satu hal yang membuat saya tau akan perkara itu teriakan adiknya kalau tidak hahahah mana saya tau itu tulisa karena saat itu saya belum bisa untuk membaca dan menulis kalau hitung dari satu sampai sepuluh udah bisa…)

“Tetapi diakan sudah belajar tinggi di kota. Kamu pula di sini memanjat kelapa. Dia suka kamu?” pertanyaan saya dengan wajah murni, dengan hati yang betul-betul niat sekadar mahu bertanya.

“Apabila kamu sudah sampai waktunya, kamu akan faham sendiri kata saya ini,” katanya dengan masih tersenyum. Diakan suka tersenyum.

“Apa?” menggapa.

“Cinta itu halus, bila saja akan terluka dan pasti akan terluka, derita. Namun cinta itu, akan lebih berharga dalam derita,” katanya tersenyum.

“Kalau tahu akan derita, buat apa bercinta?” pertanyaan saya lagi, dan pada waktu itulah, kisah yang saya temukan di dalam Sang Pemimpi, saya jumpa pada untaian kata-katanya, yang lambat-lambat, halus, pasti, dan saya ingat sampai sekarang.

“Cinta itu derita, apabila hati yang kamu mau takluki, hati yang kamu puja itu adalah tembok kokoh yang tingginya menjulang, dan kerasnya ibarat besi. Untuk meruntuh dan seterunya menakluki tembok itu, kamu hanya ada lumpur di tangan, untuk kamu lempar. Lumpur yang kamu boleh ibaratkan cinta dan rindu. Adakah tembok itu akan runtuh? Tidak, tidak akan runtuh sampai kamu mati. Tetapi lumpur yang kamu lempar itu akan tertinggal di tembok itu, tinggal kesannya, kelabu. Cukuplah itu bagi saya, cukuplah. Walau ia tidak akan runtuh, setidak-tidaknya masih ada harapan, tembok itu akan terbuka pintunya, hanya untuk sekadar melihat lumpur-lumpur kelabu itu, ataupun terus mengikisnya dan membuangnya jauh-jauh. Cukuplah...,” katanya panjang diakhiri keluhan yang cukup pahit, dan saya mengerut dahi dengan pedang ninja bersandar kemas di bahu, tidak tersenyum, tidak menyambung, hanya, sekadar menatap, di tepi-tepi.

Hahahhahahahahhahahaha..semua telah berlalu,,kisah ini hanya memori masa kecil…kampung kami telah menjadi kampung yang modern dengan denamika politik mempunyai insitas yang luar biasa hebatnya orang-orang di kampung saya saat ini adalah para pakar politik yang diracik dari hembusan asap dapur yang menghangatkan mata, politisi-politisi yang hanya mampu menangkap kepiting lubang yang satu ke lubang yang satu…hahhahahahah? Dasar kampung politisi,,politisi kampong..kata kawan Pemimpin Kelas Salon.

Si Beruk saat ini telah berumah tangga dengan seorang wanita yang ada di kampong juga. Tapi bukan dari hasil surat cintanya itu. Katangya ketemu istri dia waktu acara kawinan lohh hahahh..

Kamis, 01 Oktober 2009

MAKAN PATITA



Gambaran sketsa kebudayaan Maluku secara mendasar, sebab prinsip utama dalam studi kebudayaan mengasumsikan bahwa tidak ada satu masyarakat pun yang mono-culture. Artinya tidak ada budaya tunggal di dalam suatu komunitas yang luas. Semisal itu, maka di Maluku, yang kita kenal bukanlah budaya Maluku, melainkan budaya masyarakat Maluku. Mendefenisikan “budaya Maluku” berarti bertolak dari asumsi bahwa ada suatu corak berbudaya yang kita klaim sebagai budaya Maluku. Padahal realitas sub-kultur di Maluku akan menghadapkan kita pada puncak budaya sub-kultur mana yang kemudian kita namai budaya Maluku itu sendiri.

Mengenal manusia yang berbudaya, tidak akan dapat dilepaskan dari masyarakat di mana manusia itu ada dan berkomuni. Intinya adalah budaya yang dihasilkan manusia itu adalah budaya manusia di dalam masyarakat, dan selanjutnya masyarakat itu yang memberi legitimasi sosial, dan filosofis kepada manusia untuk bertindak. Hal itu kemudian nyata dalam apa yang sering kita sebut “manusia beradab”. Artinya hal beradabnya manusia adalah suatu kenyataan berbudaya yang disahkan oleh masyarakat. Masyarakat menetapkan standar norma umum (common ground morality), dan manusia hidup di dalamnya. Ini adalah bukti legitimasi sosial. Legitimasi filsafati dapat dilihat dalam carapandang yang dianut oleh suatu masyarakat. Carapandang itu selanjutnya yang menjadi pedoman dalam seluruh aktifitas sosial dan berbudaya masyarakat manusia. Contoh, masyarakat Maluku menjadikan baileu sebagai makro-kosmos di dalam negeri. Carapandang ini terbentuk karena adanya suatu pemahaman filsafati bahwa manusia akan selalu ada dalam keseimbangan dengan semestanya. Semesta manusia/masyarakat adalah keseimbangan dunia kini dan dunia akan datang, atau keseimbangan relasi manusia riil dengan manusia adikodrati. Makanya, dibuatlah seperangkat nilai sebagai prinsip dan carapandang yang dianut turun-temurun.

Salah satu teradisi yang telah menjadi budaya bagi masyarakat Maluku adalah makan patita. Makan patita. Dua suku kata ini tidak asing lagi bagi semua orang Maluku, makan patita bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Maluku, tradisi Makan Patita merupakan budaya yang dipertahankan hingga kini di seluruh pelosok Maluku. Dalam berbagai kesempatan misalnya, peringatan hari bersejarah, lazimnya digelar acara Makan Patita.


Beberapa kali saya mengikuti acara “makan patita, baik dalam sebuah acara adat maupun
kegiatan secara umum. Prosesinya tidaklah selalu sama namun nilai-nilai dasar yang hendak disampaikan dapat dengan jelas dipahami dari tindakan “makan patita” Dalam pengalaman awal saya, saya mengerti apa itu “makan”, tetapi saya tidak paham apakah itu “patita”? Sebagai seorang anak yang lahir di Pulau Seram, sudah menjadi kebiasan apabila mendengar kata makan patita pasti orang sudah tau kalau mereka lagi makan bersama. Hal makan patita dan sejarah bahasa tidak kelihatan hubungannya yang erat namun ternyata untuk memahami apakah itu “patita” saya tidak serta merta bisa mendefenisikannya karena masalah bahasa di atas.

Dari jauh kelihatan banyak orang berkumpul, membuat saya terharu akan suasana itu
Ada yang sibuk mempersiapkan penataan makanan (didominasi oleh ibu-ibu), sebagian lagi bersiap-siap untuk bertugas selama acara makan patita itu berlangsung untuk melayani peserta sesuai dengan kebutuhan tertentu. Menu makanan yang tersedia ciri khas makanan Ambon dengan variasi bentuk dan bahan dasar, misalnya: sagu, singkong, sayur singkong (daun kasbi), acar dan kokohu (sayur campur dengan bumbu yang khas), ikan yang diasapi (ikan asar), ikan bakar dengan kuah colo-colo ikan kuah, dan lainnya. Diawali dengan beberapa prosesi yang saling memperkuat makna dari acara makan patita itu yakni mempererat hubungan persaudaraan

Komponen-komponen, prosesi maupun isi dari perayaan itu bertujuan akhir pada penghargaan terhadap kehidupan. Tipe kehidupan seperti apa yang diharapkan nampak jelas dalam proses “makan patita” itu. Kehidupan yang berbaur dengan pluralitas manusia namun dalam kesetaraan. Semua energi peserta “makan patita” diarahkan untuk sesuatu yang membangun kehidupan. Budaya ini mengangkat eksistensi manusia dengan cara yang dapat dipahami, bahwa manusia didesain untuk kebaika

Ibu-ibu yang turut serta dalam makan patita

Nilai-Nilai Makan Patita

Kegiatan “makan patita” menjadi sesuatu yang penting namun bukan satu-satunya. Pada saat yang sama “makan” merupakan isi dan alat untuk suatu pemahaman bersama. Manusia diajak bersyukur untuk situasi ke-kini-an yang dihadapi, baik dalam bentuk kekeluargaan, kerelaan, saling melayani maupun saling menghargai. Tujuan kegiatan itu adalah mempersiapkan masa depan dengan mengingat hal-hal berharga yang ditemukan dalam pengalaman masa lalu. Pengalaman masa lalu tidak juga menjadi sesuatu yang dominan namun diperhitungkan sebagai bagian dari kekayaan hidup yang patut diingat dan diambil semangat¬nya. Dalam pengalaman, hal itu dilakukan juga sebagai bagian dari proses rekonsiliasi. “Makan” adalah mengisi kehidupan dengan sesuatu hal yang berguna, dengan aspek ketubuhan, mental-relegi dan relasi sosial. Pengalaman ini mengikat pentingnya hal-hal di atas secara seimbang. Pengalaman mental-religi tidak dapat berjalan tanpa ketubuhan dan relasi sosial yang sehat. Tidak ada hal mental-religi yang dapat diperlihatkan tanpa tubuh dan relasi social

Makan tanpa “meja”. Ini sebuah ciri khas “makan patita”. Dengan beralaskan daun kelapa dan atau batang pohon sagu, orang menikmati bagaimana rasanya “makan di atas tanah”. Interpretasi simbolik yang dimunculkan dalam model makan patita adalah membuat jembatan untuk variasi “ruang” dan jenjang “kelas” antar manusia yang tercipta sewaktu-waktu dalam relasi sosial. Pesan yang muncul adalah setiap orang dapat berkembang secara bervariasi namun pada hakekatnya semua orang adalah sama. Tidak ada lagi yang lebih rendah dan dapat direndahkan. Di atas “ tanah” adalah sesuatu yang paling mendasar, dan di situlah peserta makan patita diajak merasai dan mengalami kehidupan sederajat dan setara. Untuk menjadi yang lebih atau meningkatkan diri adalah sesuatu yang terbuka, seperti terbukanya langit dan terbentangnya daratan maupun lautan. Namun tidak ada yang lebih rendah daripada yang lainnya. Dengan kata lain, semua mulia dan berharga sebagai anak kehidupan. Perendahan martabat sesama manusia dengan legitimasi apapun adalah kontradiksi dari pesan “makan patita pelibatan semua orang dalam perayaan itu.


Walaupun pembagian tugas masih dipandang sebagai konsekuensi logisnya namun tidak muncul kepemimpinan tunggal. Sebaliknya, partisipasi semua orang menentukankualitas “makan patita”. Semakin berkeliaran orang untuk mencari dan menikmati makanan yang disukai, akan terlihat semakin menarik dan berkualitas. Akses semua peserta perayaan itu sama dan tidak terbatas. Akses seperti ini dalam konteks sosial kemasyarakatan adalah kondisi yang ideal namun belum tentu dapat terealisasi secara mudah namun dapat direalisasi dalam “makan patita

Hidup yang menghargai alam dengan dinamis adalah pesan berikutnya dari makan patita”. Alam menyediakan apa yang berguna bagi kehidupan dan oleh karena itu perlu dikelola kelangsungannya. Upaya terhadap hal tersebut tidak hanya dalam mempertahankan apa yang ada secara sempit namun mengembangkannya dalam ilmu pengetahuan yang bijak dan politik yang berorientasi pada kesejahteraan manusia. Tanpa melakukan hal itu, “makan patita” akan menjadi barang langka yang penyebabnya, pada satu sisi, adalah ketidaksejahteraan dan pada sisi yang lain kelangkaan bahan makanan itu sendiri

Interdependensi. Keyakinan tentang prinsip hidup yakni saling ketergantungan. Saling memberi dan menerima adalah kenyataan yang akan bergulir dan mengalir dalam kehidupan dengan tanpa batasannya. Kerelaan untuk memberi akan dibalas dengan hal yang sama pula., yang dalam teologi kitab suci dikenal dengan teodice. Hal mana berhubungan dengan kenyataan bahwa tidak ada seorang manusia pun dapat hidup dengan dan dari dirinya sendiri

FOTO-FOTO MAKAN PATITA DI PANTAI HATU JEI DESA LATU