Kamis, 15 Oktober 2009

Kampung Tempo Dulu.

Kampung saya tidak sepertinya yang kamu lihat di tv. Tidak seperti yang yang terlintas dalam imajinasi kamu. Rangkaian rumah penduduknya semangat otonomi mereka sangat menjunjung nilai-nilai budaya . Mereka hanya membangun rumah di atas tanah, atas nama masing-masing. Lalu tetanga terdekat, adalah sejauh tiga kali melangkah dan tetanga terjauh adalah sejauh dua kali lapangan sepak bolah..

Kampung saya, kampung yang kaya dengan padang ilalang. Lalu bangun pagi kamu, hanya akan menemui pantai yang biru. Ilalang Hijau, suasana yang hening, sepi, dan langit biru. Itu saja yang kamu akan lihat dan terus lihat selama berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun. Sampai kamu mati.

Tidak ada yang bias diandalkan untuk merauk Rezeki di kamapung saya ini. Tetapi cengkeh, pala, coklat (kaukau) dan kelapa, tumpah ruah bagai kuah ikan yang melimpah dari mangkok. Apa bila datang musim panena cengkeh Penduduk kampung saya akan kaya-kaya. Pada saat itu Rumah mereka, walaupun kayu, tapi besar-besar. Makmurnya saat musim cengkeh kata orang kampung musim uang , sampaikan setiap rumah pasti ada yang memasang gigi emas. Bukan sebatang gigi, tapi sebaris gigi. (hahahhaah Bercanda)

Susahnya kampung kami pula hanya ada empat. Susah yang mengikat sampai ke ubun-ubun. Kampung kami saat itu hanya ada petromaks dan hanya pelita, lampu minyak, syukur-syukur punya senter, dan generator. Kampung kami ada pipa air yang mengalir dari gunung samapai jauh,,,itupun setahun sekali apabila dibersiin pipanya kalau tak besinya dijadikan besi tua hahahhah, cuma hanya peringi yang bisa diandalkan untuk cuci pakain barat juga untuk andalkan perigi, air kiroku (wae kiroku bahasa Latu,, tauuu). Menjadi tempat berkumpul ibu-ibu untuk ngerumpi sambil membolak-balik pakaian-pakain yang hendak dibersikan. Kampung kami juga tiadak ada kompor apalagi kompor gas, hanya ada dapur yang berisika tumpukan ribuan batang kayu yang asapnya mampu memedihkan mata dinosaurus. Kampung kami terdapat jalan raya apabila dilalui oleh mobil bagaikan badai debu yang menghantam di siang bolon, perihnya mata, sengatnya ronga hidung, sesaknya napas itulah yang kita dapatkan. Lalu di depan rumah setiap penduduk, berjajaran pagar bambu yang tertata rapi menghiasi tiap halama rumah.


kota terdekat pula, harus menyabung nyawa mengharung laut. Sekiranya saya bernasib baik, setiap kali libur sekolah yang panjang, (setiap kali leburan tak lah…setahun sekali itupun kalau di ajak ortu) setahun sekali akan ke kota membeli sepatu baru, tas baru dan naik mobil, sambil menggenggam erat-erat semua belanjaan, untuk ditunjuk kepada kawan-kawan apabila masuk liburan.

Suatu hal yang kami sangat bersyukur, namun dalam waktu yang sama menyesakkan dada, adalah adanya tv yang siangnya mengunakan aki, dan malamnya guna generator. Itu pun rumah-rumah tertentu. Masih teringgat akan tv yang diliki oleh kampong saya, tv berwarna hitam dan putih ini dapat menyihir ratusan penduduk kampung untuk menyaksikan atraksi si Ateng didalamnya. Senangnya kami kerana hiburan itu naluri manusia dan tv menyediakan semuanya. Walaupun waktu itu orientasi tv di kampung saya hanya pada TVRI saat itu TPI masih berorentasi di kota-kota, dan membuat saya sangat ketinggalan untuk mengenali sosok manusia yang bernama Roma Irama. Hahahah raja dangdut. Tetapi, itu lebih daripada cukup bagi bahagia itu bersemayam di sudut-sudut jiwa kami.

Sakitnya pula adalah, tv memberikan semua perkara yang ada di dunia. Makanan segera, mainan kelas elit , sorang Opah yang ada rumah batu, kompor gas, mobil, kantor pos, tokoh buku, dan koran, sedangkan semua itu tidak akan kita temui di kampung saya saat itu.

Tidak ada koran, makanan segera jauh sekali, (buah segar apa yaa di kampung saat itu) kantor pos hanya mimpi, dan sekadar dalam cita-cita, dan mainan robot-robotan hanya dongengan sedih. Kesannya kalut, membuat penduduk kampung saya merasa tidak makmur, ulu, miskin, terbuang, dan buruk. Ya, mereka hanya ada kelapa, perahu, pelita, tv, dan paling moden, pemain video dan pita video Sanggam, Ratapan Si Anak Tiri dan koleksi Jaka Sembung.


Walau kampung saya makmur, namun dalam setandan pisang, pasti ada juga yang dipatuk burung. Begitu juga halnya kampung saya, di suatu sudut kampung yang jauh, di kelilingi pohon-pohon mintangor (apa nama ilmiah pohon ini yaa) yang megah menjadi bukti hidup yang tidak bisa berbicara tentang sejarah kampung ini, pohon ini menghiasi indahnya pantai mengikuti irama gelembang panatai yang menghantam batu karang. ada seorang pemuda, yang mengabdi diri menjadi pekebun, dari dahulu, hingga sekarang, dan mungkin hingga matinya begitu. Namun daripada dia saya menemui kisah ini.

Pisang yang dipatuk burung.

Dia, bukanlah lelaki paling gelap yang pernah saya temui, namun bagi kampung kami, dialah lelaki tergelap pernah ada di kampung kami . Tubuhnya tegap, dadanya berotot dengan bahunya menjulang bagaikan gunung binaya. Semuanya berkat hari-hari menyangkul, menyobek kelapa, mengangkut pisang, dan semuanya yang berkenaan dengan hal-ihwal pertania.

Dia lelaki yang diberi asuhan yang terbaik, mudah tersenyum, sepertinya senyuman itu adalah bahasa. Sampaikan mengangkat jenazah ke kubur pun dia boleh terlepas senyum. Ajaib. Dia juga sangat lurus, seperti bayi. Apa yang kamu tanya, dia tidak pernah keras untuk menjawab, walau sekadar bertanya tentang pohon-pohon yang ada di samping rumahnya, ataupun yang bertanya itu hanya anak-anak yang baru boleh bicara. Tidak ada sebibit pun rasa mahu bermegah dalam hatinya.

Di sisi lainnya, hidupnya tidak hanya selintas kisah duka. Kesenangan seperti terenggut dari hidupnya. Kebun cengkeh ayahnya tidak luas, lalu keluarganya hanya mampu memiliki perahu dan dayung. Rumah mereka pula beratap daun rumbiah dan sudah lapu dimakana usia, dengan ayah ibu yang masih hidup, tetapi hanya sekadar mampu memberi nasihat.

Dikabarkan kepada saya, kononnya dahulu dia lelaki yang sederhana dalam pelajaran, tetapi masih mampu menyambung ke sekolah menengah. Namun jauhnya sekolah menengah yang berasrama itu, sampai harus meninggalkan keluarga selama setengah tahun.

Atas kerana itu, lelaki yang saya posting dalam tulisan ini hanya beliau seorang yang berlulusan SMP. Beliau merupaka pungung keluarga, dan sebagai harapan keluarga, dia tidak mungkin meninggalkan keluarga sampai setengah tahun, sepertinya larangan memakan buah khuldi, boleh sahaja jatuh durhaka. Syukurnya, boleh juga dia membaca, menghitung dan tidak perlu sampai pada jejang berikutnya… okelah..kata beliau sihh hhahahahahah

Waktu itu, saya masih kecil, teringat kelas 3 SD kali satu, dan selepas sekolah, saya suka bertemu lelaki itu yang menjadi kawan saya, walau dia, usianya lebih tau 2 tahun lebih dari saya. Bukan kerana di kelas saya tidak ada rakan sebaya, namun kerana beliau seorang pemanjat pohon yang linca saat itu saya selalu di bawah kemana-mana semua kawan sebaya saya, semuanya di atas 100 % kuasa si Beruk sapan kawan itu, saya menjadi orang terbaik untuk diberitahu, “pohon kelapa kami udah bisa diambil buahnya, ayah saya lagi sedang tidaj ada di kebun kelapa" hahahah… dasar si Beruk..

Saya masih kecil, namun untuk memahami begitu, saya tidak sudi. Penyelesaiannya, saya berkawan saja dengan lelaki itu. Setidak-tidaknya dia hanya ada banyak pohon kelapa.

Seperti hari-hari biasa, datangnya saya ke rumah lelaki itu dengan pedang kayu yang saya paksa ayah saya buat. Semuanya gara-gara drama Ninja. Pedang kayu itu, harta yang saya sangat sayang dan tidak ragu-ragu dibawa tidur. Bersama pedang kayu, saya akhir sampai ke rumah lelaki itu yang sedang rehat di atas pagar rumah, dan berbahasa senyum dengan saya. Di tangannya ada sebatang penah dan sekeping kertas putih yang mungkin dia ambil dari buku adiknya yang kelas satu.

“Tulis apa?” pertanyaan. saya, sambil terus mengayun-ayun pedang.

Dia tersenyum, menampakkan gigi. Namun, tiba-tiba malu-malu dan ragu-ragu terpasang teguh di balik senyumannya itu. Aneh, tidak seperti biasanya, dia tidak pernah ragu-ragu hendak menjawab.

“Kamu kecil lagi, nanti kamu sudah besar, kamu akan tahu,” katanya tersenyum.

“Dia tulis surat cinta untuk anak ketua kelas,” jerit satu suara dari dalam rumah yang keras itu. Pasti suara adiknya yang kelas satu SD. Cinta? Saya yang waktu itu hanya tau drama Operah Ateng dan Ninja mengaru-garu kepala, sebelum tersenyum-senyum malu sendiri. Ternyata di hadapan saya itu, ada hal yang mengejutkan hati saya, hal orang dewasa. Namun, seketika saya mengerut dahi dan memandang lelaki di hadapan saya yang masih tersenyum malu sendiri. (Satu hal yang membuat saya tau akan perkara itu teriakan adiknya kalau tidak hahahah mana saya tau itu tulisa karena saat itu saya belum bisa untuk membaca dan menulis kalau hitung dari satu sampai sepuluh udah bisa…)

“Tetapi diakan sudah belajar tinggi di kota. Kamu pula di sini memanjat kelapa. Dia suka kamu?” pertanyaan saya dengan wajah murni, dengan hati yang betul-betul niat sekadar mahu bertanya.

“Apabila kamu sudah sampai waktunya, kamu akan faham sendiri kata saya ini,” katanya dengan masih tersenyum. Diakan suka tersenyum.

“Apa?” menggapa.

“Cinta itu halus, bila saja akan terluka dan pasti akan terluka, derita. Namun cinta itu, akan lebih berharga dalam derita,” katanya tersenyum.

“Kalau tahu akan derita, buat apa bercinta?” pertanyaan saya lagi, dan pada waktu itulah, kisah yang saya temukan di dalam Sang Pemimpi, saya jumpa pada untaian kata-katanya, yang lambat-lambat, halus, pasti, dan saya ingat sampai sekarang.

“Cinta itu derita, apabila hati yang kamu mau takluki, hati yang kamu puja itu adalah tembok kokoh yang tingginya menjulang, dan kerasnya ibarat besi. Untuk meruntuh dan seterunya menakluki tembok itu, kamu hanya ada lumpur di tangan, untuk kamu lempar. Lumpur yang kamu boleh ibaratkan cinta dan rindu. Adakah tembok itu akan runtuh? Tidak, tidak akan runtuh sampai kamu mati. Tetapi lumpur yang kamu lempar itu akan tertinggal di tembok itu, tinggal kesannya, kelabu. Cukuplah itu bagi saya, cukuplah. Walau ia tidak akan runtuh, setidak-tidaknya masih ada harapan, tembok itu akan terbuka pintunya, hanya untuk sekadar melihat lumpur-lumpur kelabu itu, ataupun terus mengikisnya dan membuangnya jauh-jauh. Cukuplah...,” katanya panjang diakhiri keluhan yang cukup pahit, dan saya mengerut dahi dengan pedang ninja bersandar kemas di bahu, tidak tersenyum, tidak menyambung, hanya, sekadar menatap, di tepi-tepi.

Hahahhahahahahhahahaha..semua telah berlalu,,kisah ini hanya memori masa kecil…kampung kami telah menjadi kampung yang modern dengan denamika politik mempunyai insitas yang luar biasa hebatnya orang-orang di kampung saya saat ini adalah para pakar politik yang diracik dari hembusan asap dapur yang menghangatkan mata, politisi-politisi yang hanya mampu menangkap kepiting lubang yang satu ke lubang yang satu…hahhahahahah? Dasar kampung politisi,,politisi kampong..kata kawan Pemimpin Kelas Salon.

Si Beruk saat ini telah berumah tangga dengan seorang wanita yang ada di kampong juga. Tapi bukan dari hasil surat cintanya itu. Katangya ketemu istri dia waktu acara kawinan lohh hahahh..

Tidak ada komentar: