Kamis, 01 Oktober 2009

MAKAN PATITA



Gambaran sketsa kebudayaan Maluku secara mendasar, sebab prinsip utama dalam studi kebudayaan mengasumsikan bahwa tidak ada satu masyarakat pun yang mono-culture. Artinya tidak ada budaya tunggal di dalam suatu komunitas yang luas. Semisal itu, maka di Maluku, yang kita kenal bukanlah budaya Maluku, melainkan budaya masyarakat Maluku. Mendefenisikan “budaya Maluku” berarti bertolak dari asumsi bahwa ada suatu corak berbudaya yang kita klaim sebagai budaya Maluku. Padahal realitas sub-kultur di Maluku akan menghadapkan kita pada puncak budaya sub-kultur mana yang kemudian kita namai budaya Maluku itu sendiri.

Mengenal manusia yang berbudaya, tidak akan dapat dilepaskan dari masyarakat di mana manusia itu ada dan berkomuni. Intinya adalah budaya yang dihasilkan manusia itu adalah budaya manusia di dalam masyarakat, dan selanjutnya masyarakat itu yang memberi legitimasi sosial, dan filosofis kepada manusia untuk bertindak. Hal itu kemudian nyata dalam apa yang sering kita sebut “manusia beradab”. Artinya hal beradabnya manusia adalah suatu kenyataan berbudaya yang disahkan oleh masyarakat. Masyarakat menetapkan standar norma umum (common ground morality), dan manusia hidup di dalamnya. Ini adalah bukti legitimasi sosial. Legitimasi filsafati dapat dilihat dalam carapandang yang dianut oleh suatu masyarakat. Carapandang itu selanjutnya yang menjadi pedoman dalam seluruh aktifitas sosial dan berbudaya masyarakat manusia. Contoh, masyarakat Maluku menjadikan baileu sebagai makro-kosmos di dalam negeri. Carapandang ini terbentuk karena adanya suatu pemahaman filsafati bahwa manusia akan selalu ada dalam keseimbangan dengan semestanya. Semesta manusia/masyarakat adalah keseimbangan dunia kini dan dunia akan datang, atau keseimbangan relasi manusia riil dengan manusia adikodrati. Makanya, dibuatlah seperangkat nilai sebagai prinsip dan carapandang yang dianut turun-temurun.

Salah satu teradisi yang telah menjadi budaya bagi masyarakat Maluku adalah makan patita. Makan patita. Dua suku kata ini tidak asing lagi bagi semua orang Maluku, makan patita bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Maluku, tradisi Makan Patita merupakan budaya yang dipertahankan hingga kini di seluruh pelosok Maluku. Dalam berbagai kesempatan misalnya, peringatan hari bersejarah, lazimnya digelar acara Makan Patita.


Beberapa kali saya mengikuti acara “makan patita, baik dalam sebuah acara adat maupun
kegiatan secara umum. Prosesinya tidaklah selalu sama namun nilai-nilai dasar yang hendak disampaikan dapat dengan jelas dipahami dari tindakan “makan patita” Dalam pengalaman awal saya, saya mengerti apa itu “makan”, tetapi saya tidak paham apakah itu “patita”? Sebagai seorang anak yang lahir di Pulau Seram, sudah menjadi kebiasan apabila mendengar kata makan patita pasti orang sudah tau kalau mereka lagi makan bersama. Hal makan patita dan sejarah bahasa tidak kelihatan hubungannya yang erat namun ternyata untuk memahami apakah itu “patita” saya tidak serta merta bisa mendefenisikannya karena masalah bahasa di atas.

Dari jauh kelihatan banyak orang berkumpul, membuat saya terharu akan suasana itu
Ada yang sibuk mempersiapkan penataan makanan (didominasi oleh ibu-ibu), sebagian lagi bersiap-siap untuk bertugas selama acara makan patita itu berlangsung untuk melayani peserta sesuai dengan kebutuhan tertentu. Menu makanan yang tersedia ciri khas makanan Ambon dengan variasi bentuk dan bahan dasar, misalnya: sagu, singkong, sayur singkong (daun kasbi), acar dan kokohu (sayur campur dengan bumbu yang khas), ikan yang diasapi (ikan asar), ikan bakar dengan kuah colo-colo ikan kuah, dan lainnya. Diawali dengan beberapa prosesi yang saling memperkuat makna dari acara makan patita itu yakni mempererat hubungan persaudaraan

Komponen-komponen, prosesi maupun isi dari perayaan itu bertujuan akhir pada penghargaan terhadap kehidupan. Tipe kehidupan seperti apa yang diharapkan nampak jelas dalam proses “makan patita” itu. Kehidupan yang berbaur dengan pluralitas manusia namun dalam kesetaraan. Semua energi peserta “makan patita” diarahkan untuk sesuatu yang membangun kehidupan. Budaya ini mengangkat eksistensi manusia dengan cara yang dapat dipahami, bahwa manusia didesain untuk kebaika

Ibu-ibu yang turut serta dalam makan patita

Nilai-Nilai Makan Patita

Kegiatan “makan patita” menjadi sesuatu yang penting namun bukan satu-satunya. Pada saat yang sama “makan” merupakan isi dan alat untuk suatu pemahaman bersama. Manusia diajak bersyukur untuk situasi ke-kini-an yang dihadapi, baik dalam bentuk kekeluargaan, kerelaan, saling melayani maupun saling menghargai. Tujuan kegiatan itu adalah mempersiapkan masa depan dengan mengingat hal-hal berharga yang ditemukan dalam pengalaman masa lalu. Pengalaman masa lalu tidak juga menjadi sesuatu yang dominan namun diperhitungkan sebagai bagian dari kekayaan hidup yang patut diingat dan diambil semangat¬nya. Dalam pengalaman, hal itu dilakukan juga sebagai bagian dari proses rekonsiliasi. “Makan” adalah mengisi kehidupan dengan sesuatu hal yang berguna, dengan aspek ketubuhan, mental-relegi dan relasi sosial. Pengalaman ini mengikat pentingnya hal-hal di atas secara seimbang. Pengalaman mental-religi tidak dapat berjalan tanpa ketubuhan dan relasi sosial yang sehat. Tidak ada hal mental-religi yang dapat diperlihatkan tanpa tubuh dan relasi social

Makan tanpa “meja”. Ini sebuah ciri khas “makan patita”. Dengan beralaskan daun kelapa dan atau batang pohon sagu, orang menikmati bagaimana rasanya “makan di atas tanah”. Interpretasi simbolik yang dimunculkan dalam model makan patita adalah membuat jembatan untuk variasi “ruang” dan jenjang “kelas” antar manusia yang tercipta sewaktu-waktu dalam relasi sosial. Pesan yang muncul adalah setiap orang dapat berkembang secara bervariasi namun pada hakekatnya semua orang adalah sama. Tidak ada lagi yang lebih rendah dan dapat direndahkan. Di atas “ tanah” adalah sesuatu yang paling mendasar, dan di situlah peserta makan patita diajak merasai dan mengalami kehidupan sederajat dan setara. Untuk menjadi yang lebih atau meningkatkan diri adalah sesuatu yang terbuka, seperti terbukanya langit dan terbentangnya daratan maupun lautan. Namun tidak ada yang lebih rendah daripada yang lainnya. Dengan kata lain, semua mulia dan berharga sebagai anak kehidupan. Perendahan martabat sesama manusia dengan legitimasi apapun adalah kontradiksi dari pesan “makan patita pelibatan semua orang dalam perayaan itu.


Walaupun pembagian tugas masih dipandang sebagai konsekuensi logisnya namun tidak muncul kepemimpinan tunggal. Sebaliknya, partisipasi semua orang menentukankualitas “makan patita”. Semakin berkeliaran orang untuk mencari dan menikmati makanan yang disukai, akan terlihat semakin menarik dan berkualitas. Akses semua peserta perayaan itu sama dan tidak terbatas. Akses seperti ini dalam konteks sosial kemasyarakatan adalah kondisi yang ideal namun belum tentu dapat terealisasi secara mudah namun dapat direalisasi dalam “makan patita

Hidup yang menghargai alam dengan dinamis adalah pesan berikutnya dari makan patita”. Alam menyediakan apa yang berguna bagi kehidupan dan oleh karena itu perlu dikelola kelangsungannya. Upaya terhadap hal tersebut tidak hanya dalam mempertahankan apa yang ada secara sempit namun mengembangkannya dalam ilmu pengetahuan yang bijak dan politik yang berorientasi pada kesejahteraan manusia. Tanpa melakukan hal itu, “makan patita” akan menjadi barang langka yang penyebabnya, pada satu sisi, adalah ketidaksejahteraan dan pada sisi yang lain kelangkaan bahan makanan itu sendiri

Interdependensi. Keyakinan tentang prinsip hidup yakni saling ketergantungan. Saling memberi dan menerima adalah kenyataan yang akan bergulir dan mengalir dalam kehidupan dengan tanpa batasannya. Kerelaan untuk memberi akan dibalas dengan hal yang sama pula., yang dalam teologi kitab suci dikenal dengan teodice. Hal mana berhubungan dengan kenyataan bahwa tidak ada seorang manusia pun dapat hidup dengan dan dari dirinya sendiri

FOTO-FOTO MAKAN PATITA DI PANTAI HATU JEI DESA LATU










Tidak ada komentar: