Senin, 15 Juni 2009

kita boleh tertawa


Kita boleh tertawa

Dengan irama canda warna-warni alam
Yang mampu gelitik jiwa terpukau renyah
Tetapi kita tak boleh pernah pungkiri
Semua noktah dari langkah hidup adalah nyata
Berbingkai mega dari prahara kehidupan
Jangan pernah pungkiri kawan

Dendang anak jalanan dipinggir jalan
Telah mampu merobek hati dalam perih
Menangis kita dalam sepi Jangan pernah hindari teman…

Cerita pengalaman hidup
Mampu memberi nuansa silam
Sebagai bukti Kitapun aktor dari
sutradara alam Kita memang manusia lemah

Tapi akal kitalah yang mampu bertanya
Untuk apa semua skenario ini direkayasa
Untuk sejarahkah? Untuk biografi sematakah?
Atau hanya sekedar basa basi tak bernyawa?
Kita semua tak tahu….

yang tahu....

hanya DIA yang KUASA

Rabu, 10 Juni 2009

MELIHAT BAHASA DI BARAT PULAU SERAM





Penjuru barat Pulau Seram (Maluku), Teluk Piru memanjang 65 km dari Tanjung Sial di Hujung barat daya Jazirah Hoamual, Piru ibukota kabupaten Seram Barat dari kota Piru yang indah, melihat rawa-rawa, bukit yang curam pulau-pulau kecil dan dataran yang mempesona hinggalah ke pelabuhan Waipiryt di hujung tenggara perairan Seram Barat. Teluk Piru terbentang sejauh mata memandang bagaikan permadani sutra berwarna nilam yang berkilip-kilip kilauan dalam sinaran surya.

Alam bahari dan bukit yang indah ini telah lama menjadi rebutan berbagai kuasa politik sejak abad ke-15 (van Fraasen 1983) teluk Piru telah menjadi teluk dalam usaha perdagangan cengkih dan pala yang giat di jalangkan di wilayah maritime ini. Penjajah Portugis, Inggris dan Belanda turut menyingahi di pantainya. Pada hakekatnya daerah yang bersejarah ini telah lama memainkan peranannya dalam perdagangan maritim serta persaingan politik di Alam Melayu. Pulau seram yang sebesar, berbukit dan bergunung- gunung ini didiami oleh kurang lebih 35 suku pribumi Seram. Dengan daerah yang luas dan terpisah-pisah ini tidak mengharankan bahwa berpulu-pulu bahasa dituturkan di Pulau Seram: kesamuanya bahasa Austronesia (Collins 1982)

Sebelum penjajah Eropa memecah-mecahkan keutuhan ekonomi dan budaya Asia Tenggara, bahasa Melayu bertugas sebagai bahasa utama di seluruh wilayah jaringan perniagaan ini. Daerah dan istana yang berbahasa Melayu yang muncul di segenap Nusantara pada ketika itu dipisah-pisahkan oleh laut. Lautan yang pernah mempertalikan titik budaya Melayu berubah menjadi pagar yang dikawal oleh kuasa asing supaya pembagian dan persaingan ekonomi ini ditetepkan oleh penguasa Kolonial, beberbagai ragam dan masyarakat yang membentuk kesatuan budaya dan bahasa tidak disadari atau di perhatikan lagi. Masalah pengabaian yang diakibatkan penjajahan ini cukup kentara kalau perhatikan Indonesia Timur.

Pada awal abad yang ke-16 tatkala petualang Barat berlayar di perairan Nusantara Timur serta berlabuh di kota dan kampung yang bertebaran di Laut Maluku, Laut Sulawesi dan Laut Flores, mereka menyaksikan dunia perdagangan yang begitu berkembang dengan pesat sekali. Penjuruh Nusantara ini begitu jauh dari kerajaan dan kesultanan Melayu lainnya; namun, hubungan seluruh wilayah Nusantara Timur itu dengan pusat perdagangan dan kebudayaan di Nusantara Barat cukup nyata buka saja dalam hal agama, perdagangan dan teknologi, tetapi lebih-lebih lagi dalam hal bahasa.

Berabad-abad lamanya mereka yang menantang lautan badai dalam mencari rempah-rempah dibuat bingung dengan dan keruwetan bahasa-bahasa. Seawal tahun 1521, dilaporkan oleh Pigafetta (1906:15) bahwa di Kepulawan Maluku, bahasa Melayu digunakan secara luas oleh masyarakat pribumi di sana, walaupun pada zaman itu semua suku di Maluku masing-masing memiliki bahasa daerah sendiri (bahasa kampung atau bahasa tanah) oleh kerena banyak ragam bahasa daerah itu makan digunakan bahasa Melayu (bahasa Melayu dialek Ambon) sebagai bahasa komunikasi bukan dengan pedagang asing saja tetapi juga sesama orang Maluku. Hal ini dapat dibuktikan dengan daftar kata Melayu-bahasa Eropa yang perta dikumpulkan di Maluku pada abad ke-16 Pigafatta (1925). Penguasa portugis di Maluku Atonio Galvoa menulis bahwa

Pada ketika ini bahasa Melayu telah luas dituturkan kebanyakan (orang di kepulauan Maluku) dapat berbahasa Melayu dan memanfatkannya diseluruh wilayah itu sehingga bahasa melayu disana berfungsi seperti bahasa Latin Eropa.

Bahkan surat-surat bahasa Melayu yang paling tua di Nusantara yang dikirim oleh Sultan Ternate kepada Raja Portugal pada tahun 1521 dan 1522 membuktikan bahwa bahasa Melayu (bahasa Melayu dialek Ambon) suda berkembang dengan pesat di Maluku (Maluku dan Maluku Utara). Sesunguhnya ketersebaran bahasa Melayu di Maluku berkaitan dengan penyebaran agama Islam seperti yang dinyatakan oleh Lowenberg (1988) dalam sejarah Nusantara pendakwah Islam mengikuti jaringan perdagangan untuk mengembangkan agamanya dengan mengunakan bahasa Melayu, seperti halnya di Maluku karya sastra yang bercorak keislaman seperti Kitab Marifat al Islami dan Seribu Masail sangat luas diedarkan di Maluku. Begitu juga menurut Valentijn (1862) pada awal abad ke-18 bahwa bahasa Melayu selalu digunakan dalam urusan agama Islam di Ambon.

Justeru karena ketersebaran bahasa Melayu di Maluku, bahasa Melayu dipilih sebagai bahasa dakwah Kristen majhab Katolik. Apabila bangsa portugis dikalaahkan oleh Belanda pada tahun 1605, umat Kristen di Ambon tetep dididik dalam agamanya dengan mengunakan bahasa Melayu, walaupun aliranya diubaha dari mazhab Katolik kepada mazhab Protestan.

Apa yang telah di katakana diatas menandakan bahwa bahasa Melayu dialek Ambon sudah lama menjadi bahasa wahana yang menghubungkan semua sektor masyarakat yang ada di Maluku, tambahan lagi, bahasa Melayu Ambon adalah bahasa utama di wilayah Maluku kerena bahasa Melayu dialek Ambon sudah menjadi bahasa ibu bagi segolongan elit yang tingal di kota Ambon. Sejak abad ke-16 bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa pengantar di gereja dan sekolah Kristen ( varian yang digunakan bervariasi antara bahasa baku dan dialek Ambon, sehingga batasan antara varian ini tidak jelas).

Oleh itu, tidak mengherankan bahwa bahasa Melayu Ambon kini telah menggantikan bahasa daerah di beberapa kampung di Seram Barat. Sejarah pergeseran bahasa daerah di Maluku cukup panjang (lihat Collins 2003, 2006b). Banyak faktor yang terlibat dalam perjalanan Maluku ke gerbang kepunahan bahasa daerahnya Mungkin sekali faktor yang harus dianggap faktor utama adalah keputusan pihak Belanda, VOC, yang memerintah wilayah Maluku Tengah selama hampir 200 tahun, untuk menggunakan bahasa Melayu saja sebagai bahasa penyebaran agama Kristen (Collins 2003). Pilihan administrasi itu meningkatkan status bahasa Melayu, terutama di semua kampung yang beragama Kristian. Semua kampung yang berbahasa Kaibobo sudah beragama Kristian sejak abad ke-17 Piru juga memeluk agama Kristian pada tahun 1672 (Niemeijer 2001:269). lihat Knaap (2004) untuk ringkasan sejarah pengKristianan Maluku Tengah.


Blust (1979). Di kedua belah Teluk Piru sekurang-kurangnya tiga bahasa asli Pulau Seram digunakan sebagai bahasa ibu, selain beberapa bahasa pendatang. Lebih dari tiga puluh tahun lalu, berbagai bahasa daerah yang dituturkan di lingkungan Teluk Piru itu ditinjau dan dikaji dalam kerangka penelitian linguistik moden. Data yang diperoleh pada waktu itu digabung dengan dokumentasi yang lebih awal, seperti van Ekris (1864-1865) dan van Hoƫvell (1877), Penelitai-penilitai yang telah di lakukan para ahli linguistik saat ini telah memberikan gambaran bahwa bahasa daerah semak ditingalkan oleh penuturnya, bukan saja itu tetapi dari segi sejara dan latar belakang social yang membuat bahasa daerah semaki menghilang.

Antara faktor lain, perlu disebut juga malapetaka alam dan juga malapetaka sosial. Pada 30 September 1899, gempa bumi dan tsunami memusnahkan beberapa kampung di pantai selatan Pulau Seram. Di Teluk Piru kampung Hatusua binasa ditenggelamkan gelombang tsunami semeter lebih tinggi dari air pasang biasa yang meluap sejauh 200 meter ke darat; tiada sebuah rumahpun yang tidak hancur (Verbeek 1900). Akibatnya 95 orang meninggal—hampir 40% penduduk. Pada tahun 1950-an pemberontakan RMS yang berkobar di Seram Barat membawa malapetaka sosial kepada masyarakat penutur bahasa daerah. Kampung Kaibobo dibakar hangus sehingga ramai pengungsi tidak kembali ke kampung asalnya. Kampung Waesamu juga dibumihanguskan oleh RMS. Selama 12 tahun (1952-1964), tanah kampung itu ditinggalkan kosong; orang Waesamu mengungsi ke Hatusua, tempat penampungan pengungsi dari pelbagai kampung dengan penutur bahasa lain-lain. Lihat juga Florey (1990 dll) tentang fungsi Hatusua sebagai pangkalan pertahanan tentera Indonesia dan kem pengungsi pada masa itu.

Keputusan VOC pada abad ke-17 untuk memaksa semua penduduk Hoamoal meninggalkan kampung halaman dan berpindah di sekitar benteng Belanda di Luhu supaya warga Hoamoal mudah diawasi dan dikuasai akhirnya menjadikan Luhu tahun 1978 sebagai kampung yang berpenduduk ribuan orang. Kepadatan demografik itu memungkinkan bahasa daerahnya bertahan. Tambahan lagi, sudah sejak abad ke-16 orang Luhu beragama Islam; jadi pengaruh bahasa Melayu melalui gereja, sekolah gereja dan cetakan Kristian (Collins 2004a) tidak menyentuh penggunaan bahasa di Luhu sehingga bahasa daerah bertahan dan berkembang

Walau faktor apapun, di Seram Barat bahasa-bahasa daerah bukan saja diancam punah tetapi banyak yang memang sudah punah. Tidakkah bencana budaya ini merisaukan kita

Rabu, 03 Juni 2009

DALAM TRADISI LISAN

Dalam falsafah sejarah, hendak diberikan jawaban atas pertanyaan mengenai makna dari proses sejarah. Manusia budaya tidak puas dengan pengetahuan sejarah, dicarinya makna yang menguasai kejadian-kejadian sejarah. Dicarinya hubungan antara fakta-fakta untuk sampai kepada asal dan tujuannya. Kekuatan apakah yang menggerakkan sejarah ke arah tujuannya dan bagaimana akhirnya proses sejarah? Pertanyaan itu sungguh hakiki bagi manusia dan semenjak sadar akan masa lampaunya telah timbul pertanyaan mengenai makna sejarah. Sejarah memperoleh makna jika kejadian-kejadian ditinjau dengan pandangan ke masa depan atau harapan akan terwujudnya masa depan (Kartodirdjo, 1971: 7).

Konteks sejarah sebagaimana dijelaskan di atas, adalah sejarah dalam kaitannya dengan tradisi lisan . Dengan demikian, bagaimana peran penting yang dimiliki oleh tradisi lisan, baik sebagai dasar pengungkapan aspek kesejarahan maupun fakta sejarah, khususnya sejarah local yang berhubungan dengan kepemimpinan leluhur serta sejarah mentalitet dari sebuah suku bangsa? Sebagai ilustrasi, Dengan demikian, tradisi lisan memiliki peran yang cukup penting dalam pengungkapan sejarah lokal.

Tradisi lisan yang memuat sejumlah cerita rakyat pada masa kelahiran dan perkembangannya menempati fungsi bukan sebagai hiburan belaka, melainkan sebagai media informasi tentang sejumlah kesan atau pandangan subjek kolektif terhadap sesuatu yang penting, khas, atau mendesak untuk dituangkan dalam wujud karya. Tentunya pada momen yang tepat karya-karya yang dimaksud dapat terwujud dan berkembang menjadi sebuah wacana milik bersama.

Bentuk rumor yang terus disebarkan kepada lingkungan sekitar dan diwariskan terus-menerus kepada generasi yang lebih muda pada akhirnya menjadi sebuah berita dalam wujud cerita yang kemungkinan besar dipercaya oleh masyarakat pendukung tradisi tersebut. Kepercayaan yang terbentuk setidaknya berhubungan erat dengan isi cerita yang berkembang dalam lingkungan subjek kolektif yang dimaksud. Isi cerita yang merepresentasikan keadaan alam dan masyarakatnya, menempati peluang yang cukup besar untuk dipercaya oleh masyarakat pendukungnya. Isi cerita yang dimaksud di antaranya bekisar tentang kepercayaan terhadap gejala alam, asal usul tempat, dan asal usul leluhurnya. Tentu ada alasan yang kuat dibalik mitos yang mereka percayai . Alasan itu bisa merupakan hal yang sebenarnya atau hanya karena mereka sudah terbiasa hidup dengan mitos tersebut.

Dalam konteks Antropologi, unsur kepercayaan ini malah diterjemahkan sebagai suatu "kearifan lokal". Sesuatu nilai (value) yang dipercayai dan dipelajari secara tradisional dan turun-menurun.Kepercayaan yang diyakini seseorang akan memengaruhi cara ia berperilaku dan berkomunikasi. Dell Hymes (1973), seorang ahli antropologi budaya memandang komunikasi sebagai unsur penting dalam memahami suatu kepercayaan yang tumbuh dalam suatu budaya. Selanjutnya dalam kajian etnografi, kepercayaan yang berkembang di suatu ras, etnis, dan kelompok masyarakat tertentu, akan memengaruhi pola-pola komunikasi masyarakat, baik komunikasi verbal maupun nonverbal sebagai simbol pemaknaan terhadap suatu gagasan atau materi.Selama ini, terdapat kesan yang menyatakan semakin tinggi peradaban suatu bangsa atau semakin tinggi tingkat kemakmuran (welfare-state) suatu negara, maka unsur kepercayaan (yang bersifat magis dan mistis/nilai-nilai budaya setempat) akan semakin menurun.


Sosok kepemimpinan leluhur selalu mendapat tempat terhormat untuk diabadikan melalui cerita rakyatnya. Kewibawaan dan kesaktian leluhur adakalanya dilegitimasi oleh sejumlah bukti, hingga kepada sejumlah akibat fisik yang harus ditanggung masyarakat karena kesaktian leluhur yang saciduh metu saucap nyata “kata bertuah dan sakti”. Mengingat bentuk legenda merupakan karya yang dipercaya kebenarannya sekaligus dari sisi keilmuan tetap dipahami sebagai karya lisan yang muatan- muatan di dalamnya bisa saja mengindikasikan adanya kepentingan dan andil tertentu dari sang kreator bagi anggota kolektif pendukung cerita-cerita lisan dimaksud diarahkan kepada wujud pemahaman atas teks untuk mengetahui dan menghubungkan elemen-elemen yang tersirat di dalam cerita-cerita legenda.

Pandangan dunia secara potensial menunjukkan bagaimana subjek kolektif menempatkan pemimpinnya dalam kesadaran menjalankan aktivitas hidupnya di bawah kepemimpinan seorang tokoh. Pandangan dunia tersebut dibentuk dan ditumbuh kembangkan melalui praktik hegemonik seorang pemimpin di dalamnya. Adapun hubungan strukturasi karya sastra berbentuk legenda dengan struktur yang lebih luasnya dapat ditelusuri melalui pemahaman atas fungsi dan kedudukan legenda bagi masyarakat pendukungnya. pandangan mengenai kepemimpinan leluhur dengan tujuan untuk mengembalikan ke asalnya, berarti harus membicarakan masa awal eksistensi tokoh pemimpin leluhur, dengan memahami eksistensi masa lampau. Sumber relevan menunjukkan – secara tersurat atau tersirat --, jati diri itu tercermin dalam budaya kekuasaan, budaya kepemimpinan, dan budaya hidup pribadi dan bermasyarakat. Budaya itu mencerminkan pula sifat dan sikap leluhur.

Senin, 01 Juni 2009

Mengenang Ambon, 17 Febuari 1674 (Rumphius)

Cerita berikut ini disarikan dari buku lama “Oost Indische Spiegel” tulisan Rob Nieuwenhuys (1972) yang berisikan kisah-kisah di Indonesia sebelum tahun 1900.
Rob Nieuwenhuys adalah seorang sastrawan Belanda kelahiran Semarang dan besar di Surabaya serta Jakarta sebelum ia berkarier di Belanda. Minat utamanya adalah karya-karya sastra dan non-sastra yang terbit di Indonesia sebelum tahun 1900. Ia pernah menyoroti karya-karya ahli bahasa van Eysinga (1796-1856), asisten residen Lebak Douwes Dekker (1820-1887), ahli budaya Batak dan Bali van der Tuuk (1824-1894), wartawan dan sastrawan roman P.A. Daum (1850-1898) dan kini yang mau saya ceritakan sedikit : Georg Eberhard Rumpf atau Rumphius (1628-1702), naturalis Jerman di Ambon yang luar biasa.

Hari ini (17 febuari 2009) bertepatan dengan 335 tahun setelah gempa besar menguncang Ambon dan menewaskan ribuan orang. Saya sengaja mengangkat ini sebagai bentuk kenangan dan apresiasi kepada seorang Naturalis besar yang seharusnya berhak untuk dihargai lebih karena jasa2 besarnya kepada dunia ilmu pengetahuan, yang karena intrik akhirnya dicampakkan oleh VOC. (di dunia science pun ternyata ada intrik).

Diantara ribuan korban gempa ini adalah anak dan istri tercinta Rumphius yang menjadi pemicu semangatnya dalam menyelesaikan karya2 besarnya dalam kebutaan. Siapakah Rumphius ?

Memang sangat sedikit literatur yang meeritakan tentang kisah hidupnya. Orang akan lebih mengenal Darwin atau Wallace sebagai pahlawan karena hasil2 penemuannya sebagai naturalis. Mungkin ada yang masih ingat ketika dalam saat2 kematiannya Alfred Wallace yang bekerja di Maluku (halmahera) ini mengirim sebuah artikel kepada Charles Darwin berkaitan dengan ide2 dasar evolusi yang tengah dipikirkannya, dan membuat Charles Darwin terkejut setengah mati?. Dan karena artikel kiriman Wallace inilah, Darwin terkesan tergesa2 menyusun seluruh teori evolusi nya dan segera membukukannya dalam “the origin of species (1858)” sebelum tersusul oleh Wallace.

Jika “intrik” Wallace vs Darwin bermuara pada “the origin of species”, maka lain halnya dengan Rumphius yang saya rasa lebih tragis. Pada mulanya Rumphius bekerja di Ambon dan meneliti seluruh flora dan fauna dan juga kerang2 di laut maluku dan menemukan sistem penamaan binomial dalam sistematika biologi lebih dari lima puluh tahun sebelum Carolus Linnaeus mengeluarkan Systema Naturae pada tahun 1740.

Tragis memang karena Mahakarya Rumphius ini tidak sempat beredar, jika saja bisa beredar maka Indonesia akan menjadi lebih terkenal sebagai lokasi tempat ditemukannya Systema Naturae. Saya rasa ini mirip dengan Charles Darwin yang tidak membuat artikel hasil penelitian Wallace di halmahera (Maluku) sebagai dasar teori evolusi, sehingga sekali lagi Indonesiapun harus mengalah kepada Kep.Galapagos sebagai tempat yang diarahkan Darwin menjadi lokasi penelitian teori evolusi yan terkenal itu.

Rumphius bernama lengkap Georg Eberhard Rumpf lahir di Jerman tahun 1628. Ia terpesona dengan cerita tentang Maluku sebagai penghasil rempah-rempah. Maka ia mendaftarkan diri sebagai tentara VOC dan khayalannya tentang Maluku terwujud pada tahun 1653 saat armada VOC merapat di Ambon.

Ia tidak lama jadi tentara sebab panggilan jiwanya bukan sebagai militer. Ia meminta dipindahkan ke bagian sipil dan disetujui. Tahun 1656 diangkat sebagai saudagar VOC di Larike, sebuah desa terpencil di pantai utara Ambon di Semenanjung Hitu. Tahun 1660 ia pindah menjadi saudagar di Hila. Daripada memperkaya diri dan memperkaya VOC, Rumphius mulai terbuka matanya kepada dunia alam Pulau Ambon. Ia menikahi gadis Ambon dan mulailah mempelajari semua tanaman yang ditemuinya dan ia mempunyai ambisi ingin membukukan semua flora yang ada di Pulau Ambon.

Selanjutnya ia mempelajari, memaparkan, memberi nama dalam bahasa Ambon, Melayu, dan Latin semua tumbuhan yang dipelajarinya. Ia menggambar dengan teliti rupa tanaman yang dipelajarinya, menceritakan khasiat khususnya untuk menyembuhkan penyakit (dan banyak mendengarkan cerita penduduk setempat). Istri dan anak2nya membantunya dengan setia. Ia pun melakukan beberapa eksperimen dengan tanaman untuk benar-benar mengetahui khasiatnya.

Tetapi pada tahun 1670 juga, penglihatan Rumphius mulai kabur akibat suatu penyakit bernama “staar” yang tak bisa disembuhkan. Akhirnya ia mengalami kebutaan total. Bagaimana seorang naturalis bila buta ?

Tetapi Rumphius tidak akan menjadi terkenal kalau patah semangat karena  kebutaannya. Ia dan keluarganya pindah dari Hitu ke Ambon. Dan karier Rumphius tetap dapat dukungan penuh dari Batavia, ia tetap digaji, bahkan diberi juru tulis dan juru gambar. Sementara itu, istri dan anaknya tetap membantu Rumphius sepenuh waktu untuk meneruskan karyanya yang telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun itu.

Namun, bencana datang lagi. Gempa dahsyat melanda Ambon pada 17 Februari  1674. Gempa ini menewaskan orang-orang yang paling dicintainya : isterinya dan anaknya dua orang yang setara dengan dia sendiri, penunjuk jalan yang setia akan keajaiban Ambon. Gempa ini juga menewaskan sebanyak 2322 penduduk Ambon. Nah, dari mana lagi akan datang pertolongan untuk Rumphius ?

Sungguh luar biasa, dalam tahun itu juga, Rumphius berhasil menerbitkan buku  pertama tentang sejarah alam Ambon, berjudul Sejarah dan Geografi Pulau Ambon. Sayang, buku ini tetap terkunci rapat di kantor VOC di Ambon sebab VOC takut bila buku ini tersebar akan menguntungkan pesaing-pesaing VOC. Di kemudian hari, setelah Rumphius tiada, buku ini ditemukan seorang pendeta bernama Valentijn dan menerbitkannya atas namanya sendiri...(!)

11 Januari 1687 bencana ketiga menimpa Rumphius dan kota Ambon. Kota Ambon dimangsa si jago merah yang hebat alias kebakaran. Api menghanguskan gambar-gambar untuk bukunya tentang tumbuhan, menghanguskan konsep naskah tentang kerang, dan  juga menghanguskan koleksi tumbuhan dan kerang yang lebih dari 15 tahun dikumpulkan Rumphius. Untunglah naskah tentang tumbuhan Ambon bisa diselamatkan. Dan, untunglah VOC tetap mendukung Rumphius dengan membantunya menugaskan juru tulis dan juru gambar untuk menulis dan menggambar ulang semua dokumen yang telah dilalap si jago merah.

Tahun 1690 mahakarya Rumphius pun selesai, dua belas jilid banyaknya, sebuah karya raksasa yang disusun selama lebih dari 20 tahun dengan berbagai suka dan duka. Rumphius mengirimkan karyanya kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Karyanya baru diteruskan ke Belanda pada tahun 1697 setelah selama tujuh tahun disalin di Batavia oleh Gubernur Jenderal Camphuys – seorang pencinta alam Indonesia juga. Lebih sial lagi, ternyata karya raksasa Rumphius ini tersimpan selama 44 tahun di arsip VOC di Belanda dengan alasan keamanan (!). Maka, tersusullah karya Rumphius ini oleh karya Systema Naturae Carolus Linnaeus, ahli biologi Swedia, yang menerbitkan karyanya pada tahun 1740 dan memperkenalkan sistem penamaan binomial. Padahal, Rumphius dari Ambon telah menemukan sistem penamaan itu 50 tahun lebih awal.

Tahun 1699, Rumphius masih mengeluarkan sebuah buku berjudul “Kotak Keajaiban Pulau Ambon” yang membahas kerang-kerang di perairan Ambon. Bukunya ini  bernasib lebih baik daripada buku-buku sebelumnya. Rumphius tidak mengirimkan buku ini kepada pejabat-pejabat VOC, tetapi mengirimkannya langsung kepada seorang sahabatnya di Belanda dan menerbitkannya pada tahun 1705. Tetapi, Rumphius tidak melihat satu bukunya pun terbit, sebab ia meninggal di Ambon pada tahun 1702.

Mungkin ada satu pelajaran yang bisa sama2 kita petik dari biografi rumpf diatas yaitu “pada saatnya, hasil karya pasti akan diakui dan dihargai meskipun dengan intrik2 yang mengiringinya”. Jika Beethoven meracik simfoni indah dalam keadaan tuli, maka Rumpf berkarya dalam keadaan buta. Seharuanya kita yang sehat bisa berkarya lebih baik dan memberi manfaat nyata bagi orang lain bukan?Pengamatan, pelukisan, dan cinta Rumphius kepada alam Maluku tak ada taranya. Ia sungguh jatuh cinta kepada Ambon Manise. Rumphius - teladan bagi dunia naturalis Indonesia.