Rabu, 10 Juni 2009

MELIHAT BAHASA DI BARAT PULAU SERAM





Penjuru barat Pulau Seram (Maluku), Teluk Piru memanjang 65 km dari Tanjung Sial di Hujung barat daya Jazirah Hoamual, Piru ibukota kabupaten Seram Barat dari kota Piru yang indah, melihat rawa-rawa, bukit yang curam pulau-pulau kecil dan dataran yang mempesona hinggalah ke pelabuhan Waipiryt di hujung tenggara perairan Seram Barat. Teluk Piru terbentang sejauh mata memandang bagaikan permadani sutra berwarna nilam yang berkilip-kilip kilauan dalam sinaran surya.

Alam bahari dan bukit yang indah ini telah lama menjadi rebutan berbagai kuasa politik sejak abad ke-15 (van Fraasen 1983) teluk Piru telah menjadi teluk dalam usaha perdagangan cengkih dan pala yang giat di jalangkan di wilayah maritime ini. Penjajah Portugis, Inggris dan Belanda turut menyingahi di pantainya. Pada hakekatnya daerah yang bersejarah ini telah lama memainkan peranannya dalam perdagangan maritim serta persaingan politik di Alam Melayu. Pulau seram yang sebesar, berbukit dan bergunung- gunung ini didiami oleh kurang lebih 35 suku pribumi Seram. Dengan daerah yang luas dan terpisah-pisah ini tidak mengharankan bahwa berpulu-pulu bahasa dituturkan di Pulau Seram: kesamuanya bahasa Austronesia (Collins 1982)

Sebelum penjajah Eropa memecah-mecahkan keutuhan ekonomi dan budaya Asia Tenggara, bahasa Melayu bertugas sebagai bahasa utama di seluruh wilayah jaringan perniagaan ini. Daerah dan istana yang berbahasa Melayu yang muncul di segenap Nusantara pada ketika itu dipisah-pisahkan oleh laut. Lautan yang pernah mempertalikan titik budaya Melayu berubah menjadi pagar yang dikawal oleh kuasa asing supaya pembagian dan persaingan ekonomi ini ditetepkan oleh penguasa Kolonial, beberbagai ragam dan masyarakat yang membentuk kesatuan budaya dan bahasa tidak disadari atau di perhatikan lagi. Masalah pengabaian yang diakibatkan penjajahan ini cukup kentara kalau perhatikan Indonesia Timur.

Pada awal abad yang ke-16 tatkala petualang Barat berlayar di perairan Nusantara Timur serta berlabuh di kota dan kampung yang bertebaran di Laut Maluku, Laut Sulawesi dan Laut Flores, mereka menyaksikan dunia perdagangan yang begitu berkembang dengan pesat sekali. Penjuruh Nusantara ini begitu jauh dari kerajaan dan kesultanan Melayu lainnya; namun, hubungan seluruh wilayah Nusantara Timur itu dengan pusat perdagangan dan kebudayaan di Nusantara Barat cukup nyata buka saja dalam hal agama, perdagangan dan teknologi, tetapi lebih-lebih lagi dalam hal bahasa.

Berabad-abad lamanya mereka yang menantang lautan badai dalam mencari rempah-rempah dibuat bingung dengan dan keruwetan bahasa-bahasa. Seawal tahun 1521, dilaporkan oleh Pigafetta (1906:15) bahwa di Kepulawan Maluku, bahasa Melayu digunakan secara luas oleh masyarakat pribumi di sana, walaupun pada zaman itu semua suku di Maluku masing-masing memiliki bahasa daerah sendiri (bahasa kampung atau bahasa tanah) oleh kerena banyak ragam bahasa daerah itu makan digunakan bahasa Melayu (bahasa Melayu dialek Ambon) sebagai bahasa komunikasi bukan dengan pedagang asing saja tetapi juga sesama orang Maluku. Hal ini dapat dibuktikan dengan daftar kata Melayu-bahasa Eropa yang perta dikumpulkan di Maluku pada abad ke-16 Pigafatta (1925). Penguasa portugis di Maluku Atonio Galvoa menulis bahwa

Pada ketika ini bahasa Melayu telah luas dituturkan kebanyakan (orang di kepulauan Maluku) dapat berbahasa Melayu dan memanfatkannya diseluruh wilayah itu sehingga bahasa melayu disana berfungsi seperti bahasa Latin Eropa.

Bahkan surat-surat bahasa Melayu yang paling tua di Nusantara yang dikirim oleh Sultan Ternate kepada Raja Portugal pada tahun 1521 dan 1522 membuktikan bahwa bahasa Melayu (bahasa Melayu dialek Ambon) suda berkembang dengan pesat di Maluku (Maluku dan Maluku Utara). Sesunguhnya ketersebaran bahasa Melayu di Maluku berkaitan dengan penyebaran agama Islam seperti yang dinyatakan oleh Lowenberg (1988) dalam sejarah Nusantara pendakwah Islam mengikuti jaringan perdagangan untuk mengembangkan agamanya dengan mengunakan bahasa Melayu, seperti halnya di Maluku karya sastra yang bercorak keislaman seperti Kitab Marifat al Islami dan Seribu Masail sangat luas diedarkan di Maluku. Begitu juga menurut Valentijn (1862) pada awal abad ke-18 bahwa bahasa Melayu selalu digunakan dalam urusan agama Islam di Ambon.

Justeru karena ketersebaran bahasa Melayu di Maluku, bahasa Melayu dipilih sebagai bahasa dakwah Kristen majhab Katolik. Apabila bangsa portugis dikalaahkan oleh Belanda pada tahun 1605, umat Kristen di Ambon tetep dididik dalam agamanya dengan mengunakan bahasa Melayu, walaupun aliranya diubaha dari mazhab Katolik kepada mazhab Protestan.

Apa yang telah di katakana diatas menandakan bahwa bahasa Melayu dialek Ambon sudah lama menjadi bahasa wahana yang menghubungkan semua sektor masyarakat yang ada di Maluku, tambahan lagi, bahasa Melayu Ambon adalah bahasa utama di wilayah Maluku kerena bahasa Melayu dialek Ambon sudah menjadi bahasa ibu bagi segolongan elit yang tingal di kota Ambon. Sejak abad ke-16 bahasa Melayu telah digunakan sebagai bahasa pengantar di gereja dan sekolah Kristen ( varian yang digunakan bervariasi antara bahasa baku dan dialek Ambon, sehingga batasan antara varian ini tidak jelas).

Oleh itu, tidak mengherankan bahwa bahasa Melayu Ambon kini telah menggantikan bahasa daerah di beberapa kampung di Seram Barat. Sejarah pergeseran bahasa daerah di Maluku cukup panjang (lihat Collins 2003, 2006b). Banyak faktor yang terlibat dalam perjalanan Maluku ke gerbang kepunahan bahasa daerahnya Mungkin sekali faktor yang harus dianggap faktor utama adalah keputusan pihak Belanda, VOC, yang memerintah wilayah Maluku Tengah selama hampir 200 tahun, untuk menggunakan bahasa Melayu saja sebagai bahasa penyebaran agama Kristen (Collins 2003). Pilihan administrasi itu meningkatkan status bahasa Melayu, terutama di semua kampung yang beragama Kristian. Semua kampung yang berbahasa Kaibobo sudah beragama Kristian sejak abad ke-17 Piru juga memeluk agama Kristian pada tahun 1672 (Niemeijer 2001:269). lihat Knaap (2004) untuk ringkasan sejarah pengKristianan Maluku Tengah.


Blust (1979). Di kedua belah Teluk Piru sekurang-kurangnya tiga bahasa asli Pulau Seram digunakan sebagai bahasa ibu, selain beberapa bahasa pendatang. Lebih dari tiga puluh tahun lalu, berbagai bahasa daerah yang dituturkan di lingkungan Teluk Piru itu ditinjau dan dikaji dalam kerangka penelitian linguistik moden. Data yang diperoleh pada waktu itu digabung dengan dokumentasi yang lebih awal, seperti van Ekris (1864-1865) dan van Hoƫvell (1877), Penelitai-penilitai yang telah di lakukan para ahli linguistik saat ini telah memberikan gambaran bahwa bahasa daerah semak ditingalkan oleh penuturnya, bukan saja itu tetapi dari segi sejara dan latar belakang social yang membuat bahasa daerah semaki menghilang.

Antara faktor lain, perlu disebut juga malapetaka alam dan juga malapetaka sosial. Pada 30 September 1899, gempa bumi dan tsunami memusnahkan beberapa kampung di pantai selatan Pulau Seram. Di Teluk Piru kampung Hatusua binasa ditenggelamkan gelombang tsunami semeter lebih tinggi dari air pasang biasa yang meluap sejauh 200 meter ke darat; tiada sebuah rumahpun yang tidak hancur (Verbeek 1900). Akibatnya 95 orang meninggal—hampir 40% penduduk. Pada tahun 1950-an pemberontakan RMS yang berkobar di Seram Barat membawa malapetaka sosial kepada masyarakat penutur bahasa daerah. Kampung Kaibobo dibakar hangus sehingga ramai pengungsi tidak kembali ke kampung asalnya. Kampung Waesamu juga dibumihanguskan oleh RMS. Selama 12 tahun (1952-1964), tanah kampung itu ditinggalkan kosong; orang Waesamu mengungsi ke Hatusua, tempat penampungan pengungsi dari pelbagai kampung dengan penutur bahasa lain-lain. Lihat juga Florey (1990 dll) tentang fungsi Hatusua sebagai pangkalan pertahanan tentera Indonesia dan kem pengungsi pada masa itu.

Keputusan VOC pada abad ke-17 untuk memaksa semua penduduk Hoamoal meninggalkan kampung halaman dan berpindah di sekitar benteng Belanda di Luhu supaya warga Hoamoal mudah diawasi dan dikuasai akhirnya menjadikan Luhu tahun 1978 sebagai kampung yang berpenduduk ribuan orang. Kepadatan demografik itu memungkinkan bahasa daerahnya bertahan. Tambahan lagi, sudah sejak abad ke-16 orang Luhu beragama Islam; jadi pengaruh bahasa Melayu melalui gereja, sekolah gereja dan cetakan Kristian (Collins 2004a) tidak menyentuh penggunaan bahasa di Luhu sehingga bahasa daerah bertahan dan berkembang

Walau faktor apapun, di Seram Barat bahasa-bahasa daerah bukan saja diancam punah tetapi banyak yang memang sudah punah. Tidakkah bencana budaya ini merisaukan kita

Tidak ada komentar: