Senin, 01 Juni 2009

Mengenang Ambon, 17 Febuari 1674 (Rumphius)

Cerita berikut ini disarikan dari buku lama “Oost Indische Spiegel” tulisan Rob Nieuwenhuys (1972) yang berisikan kisah-kisah di Indonesia sebelum tahun 1900.
Rob Nieuwenhuys adalah seorang sastrawan Belanda kelahiran Semarang dan besar di Surabaya serta Jakarta sebelum ia berkarier di Belanda. Minat utamanya adalah karya-karya sastra dan non-sastra yang terbit di Indonesia sebelum tahun 1900. Ia pernah menyoroti karya-karya ahli bahasa van Eysinga (1796-1856), asisten residen Lebak Douwes Dekker (1820-1887), ahli budaya Batak dan Bali van der Tuuk (1824-1894), wartawan dan sastrawan roman P.A. Daum (1850-1898) dan kini yang mau saya ceritakan sedikit : Georg Eberhard Rumpf atau Rumphius (1628-1702), naturalis Jerman di Ambon yang luar biasa.

Hari ini (17 febuari 2009) bertepatan dengan 335 tahun setelah gempa besar menguncang Ambon dan menewaskan ribuan orang. Saya sengaja mengangkat ini sebagai bentuk kenangan dan apresiasi kepada seorang Naturalis besar yang seharusnya berhak untuk dihargai lebih karena jasa2 besarnya kepada dunia ilmu pengetahuan, yang karena intrik akhirnya dicampakkan oleh VOC. (di dunia science pun ternyata ada intrik).

Diantara ribuan korban gempa ini adalah anak dan istri tercinta Rumphius yang menjadi pemicu semangatnya dalam menyelesaikan karya2 besarnya dalam kebutaan. Siapakah Rumphius ?

Memang sangat sedikit literatur yang meeritakan tentang kisah hidupnya. Orang akan lebih mengenal Darwin atau Wallace sebagai pahlawan karena hasil2 penemuannya sebagai naturalis. Mungkin ada yang masih ingat ketika dalam saat2 kematiannya Alfred Wallace yang bekerja di Maluku (halmahera) ini mengirim sebuah artikel kepada Charles Darwin berkaitan dengan ide2 dasar evolusi yang tengah dipikirkannya, dan membuat Charles Darwin terkejut setengah mati?. Dan karena artikel kiriman Wallace inilah, Darwin terkesan tergesa2 menyusun seluruh teori evolusi nya dan segera membukukannya dalam “the origin of species (1858)” sebelum tersusul oleh Wallace.

Jika “intrik” Wallace vs Darwin bermuara pada “the origin of species”, maka lain halnya dengan Rumphius yang saya rasa lebih tragis. Pada mulanya Rumphius bekerja di Ambon dan meneliti seluruh flora dan fauna dan juga kerang2 di laut maluku dan menemukan sistem penamaan binomial dalam sistematika biologi lebih dari lima puluh tahun sebelum Carolus Linnaeus mengeluarkan Systema Naturae pada tahun 1740.

Tragis memang karena Mahakarya Rumphius ini tidak sempat beredar, jika saja bisa beredar maka Indonesia akan menjadi lebih terkenal sebagai lokasi tempat ditemukannya Systema Naturae. Saya rasa ini mirip dengan Charles Darwin yang tidak membuat artikel hasil penelitian Wallace di halmahera (Maluku) sebagai dasar teori evolusi, sehingga sekali lagi Indonesiapun harus mengalah kepada Kep.Galapagos sebagai tempat yang diarahkan Darwin menjadi lokasi penelitian teori evolusi yan terkenal itu.

Rumphius bernama lengkap Georg Eberhard Rumpf lahir di Jerman tahun 1628. Ia terpesona dengan cerita tentang Maluku sebagai penghasil rempah-rempah. Maka ia mendaftarkan diri sebagai tentara VOC dan khayalannya tentang Maluku terwujud pada tahun 1653 saat armada VOC merapat di Ambon.

Ia tidak lama jadi tentara sebab panggilan jiwanya bukan sebagai militer. Ia meminta dipindahkan ke bagian sipil dan disetujui. Tahun 1656 diangkat sebagai saudagar VOC di Larike, sebuah desa terpencil di pantai utara Ambon di Semenanjung Hitu. Tahun 1660 ia pindah menjadi saudagar di Hila. Daripada memperkaya diri dan memperkaya VOC, Rumphius mulai terbuka matanya kepada dunia alam Pulau Ambon. Ia menikahi gadis Ambon dan mulailah mempelajari semua tanaman yang ditemuinya dan ia mempunyai ambisi ingin membukukan semua flora yang ada di Pulau Ambon.

Selanjutnya ia mempelajari, memaparkan, memberi nama dalam bahasa Ambon, Melayu, dan Latin semua tumbuhan yang dipelajarinya. Ia menggambar dengan teliti rupa tanaman yang dipelajarinya, menceritakan khasiat khususnya untuk menyembuhkan penyakit (dan banyak mendengarkan cerita penduduk setempat). Istri dan anak2nya membantunya dengan setia. Ia pun melakukan beberapa eksperimen dengan tanaman untuk benar-benar mengetahui khasiatnya.

Tetapi pada tahun 1670 juga, penglihatan Rumphius mulai kabur akibat suatu penyakit bernama “staar” yang tak bisa disembuhkan. Akhirnya ia mengalami kebutaan total. Bagaimana seorang naturalis bila buta ?

Tetapi Rumphius tidak akan menjadi terkenal kalau patah semangat karena  kebutaannya. Ia dan keluarganya pindah dari Hitu ke Ambon. Dan karier Rumphius tetap dapat dukungan penuh dari Batavia, ia tetap digaji, bahkan diberi juru tulis dan juru gambar. Sementara itu, istri dan anaknya tetap membantu Rumphius sepenuh waktu untuk meneruskan karyanya yang telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun itu.

Namun, bencana datang lagi. Gempa dahsyat melanda Ambon pada 17 Februari  1674. Gempa ini menewaskan orang-orang yang paling dicintainya : isterinya dan anaknya dua orang yang setara dengan dia sendiri, penunjuk jalan yang setia akan keajaiban Ambon. Gempa ini juga menewaskan sebanyak 2322 penduduk Ambon. Nah, dari mana lagi akan datang pertolongan untuk Rumphius ?

Sungguh luar biasa, dalam tahun itu juga, Rumphius berhasil menerbitkan buku  pertama tentang sejarah alam Ambon, berjudul Sejarah dan Geografi Pulau Ambon. Sayang, buku ini tetap terkunci rapat di kantor VOC di Ambon sebab VOC takut bila buku ini tersebar akan menguntungkan pesaing-pesaing VOC. Di kemudian hari, setelah Rumphius tiada, buku ini ditemukan seorang pendeta bernama Valentijn dan menerbitkannya atas namanya sendiri...(!)

11 Januari 1687 bencana ketiga menimpa Rumphius dan kota Ambon. Kota Ambon dimangsa si jago merah yang hebat alias kebakaran. Api menghanguskan gambar-gambar untuk bukunya tentang tumbuhan, menghanguskan konsep naskah tentang kerang, dan  juga menghanguskan koleksi tumbuhan dan kerang yang lebih dari 15 tahun dikumpulkan Rumphius. Untunglah naskah tentang tumbuhan Ambon bisa diselamatkan. Dan, untunglah VOC tetap mendukung Rumphius dengan membantunya menugaskan juru tulis dan juru gambar untuk menulis dan menggambar ulang semua dokumen yang telah dilalap si jago merah.

Tahun 1690 mahakarya Rumphius pun selesai, dua belas jilid banyaknya, sebuah karya raksasa yang disusun selama lebih dari 20 tahun dengan berbagai suka dan duka. Rumphius mengirimkan karyanya kepada Gubernur Jenderal VOC di Batavia. Karyanya baru diteruskan ke Belanda pada tahun 1697 setelah selama tujuh tahun disalin di Batavia oleh Gubernur Jenderal Camphuys – seorang pencinta alam Indonesia juga. Lebih sial lagi, ternyata karya raksasa Rumphius ini tersimpan selama 44 tahun di arsip VOC di Belanda dengan alasan keamanan (!). Maka, tersusullah karya Rumphius ini oleh karya Systema Naturae Carolus Linnaeus, ahli biologi Swedia, yang menerbitkan karyanya pada tahun 1740 dan memperkenalkan sistem penamaan binomial. Padahal, Rumphius dari Ambon telah menemukan sistem penamaan itu 50 tahun lebih awal.

Tahun 1699, Rumphius masih mengeluarkan sebuah buku berjudul “Kotak Keajaiban Pulau Ambon” yang membahas kerang-kerang di perairan Ambon. Bukunya ini  bernasib lebih baik daripada buku-buku sebelumnya. Rumphius tidak mengirimkan buku ini kepada pejabat-pejabat VOC, tetapi mengirimkannya langsung kepada seorang sahabatnya di Belanda dan menerbitkannya pada tahun 1705. Tetapi, Rumphius tidak melihat satu bukunya pun terbit, sebab ia meninggal di Ambon pada tahun 1702.

Mungkin ada satu pelajaran yang bisa sama2 kita petik dari biografi rumpf diatas yaitu “pada saatnya, hasil karya pasti akan diakui dan dihargai meskipun dengan intrik2 yang mengiringinya”. Jika Beethoven meracik simfoni indah dalam keadaan tuli, maka Rumpf berkarya dalam keadaan buta. Seharuanya kita yang sehat bisa berkarya lebih baik dan memberi manfaat nyata bagi orang lain bukan?Pengamatan, pelukisan, dan cinta Rumphius kepada alam Maluku tak ada taranya. Ia sungguh jatuh cinta kepada Ambon Manise. Rumphius - teladan bagi dunia naturalis Indonesia.

Tidak ada komentar: