Rabu, 28 April 2010

Bahasa
sebagai
Local Wisdom


Andaikan dunia ini sudah sama dengan keinginan manusia, referensi itu tidak akan pernah ada. Tapi, sayangnya dunia tidak pernah sama dengan keinginan manusia. Mengapa dunia tidak menyerupai keinginan manusia? Karena dari diri manusia sendiri, dunia itu tak mempunyai makna. Sebagai manusia, tak dapat menanggung sesuatu yang tanpa makna. Bahkan menyelidiki sesuatu yang tanpa makna pun sudah merupakan upaya untuk memberi makna. Bahasa tak lain dan tak bukan hadir untuk menanggapi dunia yang tanpa makna, dan menjadi sesuatu yang menyerupai kehendak manusia. Dengan bahasa manusia memberi jawaban atas sesuatu yang dianggap kurang atau tidak menyerupainya.

Secara ontologis hakikat keberadaan bahasa tidak dapat dipisahkan dengan kehidupan manusia. Hakikat makna bahasa dan keberadaan bahasa senantiasa memproyeksikan kehidupan manusia yang sifatnya tidak terbatas dan kompleks. Dalam konteks proyeksi kehidupan manusia, bahasa senantiasa digunakan secara khas dan memiliki suatu aturan permainan tersendiri. Untuk itu, terdapat banyak permainan bahasa dalam kehidupan manusia, bahkan dapat dikatakan tidak terbatas, dan antara tata permainan satu dengan lainnya tidak dapat dintentukan dengan suatu aturan.

Manusia ditakdirkan Tuhan menjadi mahluk yang tidak bisa hidup sendiri. Sejak dulu kala, manusia memang telah ditahbiskan menjadi mahluk yang saling membutuhkan. Adam, manusia pertama dalam dimensi spritualisme, pasti merasa sangat kesepian ketika diharuskan tinggal di bumi sendirian. Tuhan lalu menciptakan seorang wanita sebagai teman Adam yang nantinya juga menjadi istrinya. Melalui perantaraan merekalah, kita semua ada. Dari zaman yang paling primitif sekali pun, seorang manusia membutuhkan manusia lain. Bahkan manusia (yang diperkirakan) tertua yang pernah ditemukan, Zinj—dari spesies Australopithecus Boisei yang hidup 1,75 juta tahun yang lalu—memerlukan orang lain. Dia tidak dapat hidup sendiri. Apa yang tidak bisa kita lakukan, bisa dilakukan orang lain. Apa yang tidak kita punyai, dipunyai orang lain. Tuhanlah yang mengatur itu semua agar sebagai manusia, kita saling mengisi dan berbagi.

Setiap pagi hingga petang kita terlibat dalam kegiatan komunikasi. Kebenaran yang mutlak bila ada ungkapan: manusia tidak mungkin tidak berkomunikasi. Berbicara mengenai komunikasi pasti akan melibatkan bahasa dan budaya. Bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi, sedangkan budaya adalah landasan, sesuatu yang dipengaruhi oleh tingaka laku manusia yang mempeunyai norma dan etika. Budaya juga merupakan salah satu hasil dari komunikasi. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan, satu mendukung dan melingkupi yang lain. Bahasa dan Budaya: Dua Pondasi Dasar.

Sebagai sebuah keniscayaan mungkin tidak perlu dipertentangkan, tetapi melihat fenomena arus perubahan yang akhir-akhir ini semakin deras melanda dan melumat semua aspek kehidupan yang pernah diyakini sebagai sesuatu yang mapan dan tidak mungkin berubah juga sebuah keniscayaan Lalu bagaimana dengan perubahan yang pasti terjadi pada keberlangsungan dan kebertahanan bahasa? Seperti kata Price Pritchett bahwa ‘perubahan selalu datang sambil membawa hadiah’, maka perubahan yang pasti datang mungkin tidak perlu terlalu dirisaukan karena toh pasti ada manfaat yang dapat dipetik dari perubahan yang ada? Lalu bagaimana dengan perubahan bahasa yang ada pada masyarakat, dan yang perna ada. Apakah kita harus mengikuti arus perubahan yang seakan menengelamkan budaya leluhur kita?

Apa yang dikatakan oleh Kepala Pusat Bahasa, Dendy Sugono menyatakan penelitian tentang bahasa daerah hingga saat ini belum selesai dilakukan. “Baru daerah timur Indonesia yang ada hasilnya,” ujar Dendy saat ditemui di sela Perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional 2008 di Departemen Pendidikan Nasional, Senin (25/7). Untuk Indonesia wilayah tengah dan barat, dia melanjutkan, masih dalam proses pengumpulan data. “Diharapkan Agustus sudah bisa selesai,” katanya. Data sementara dari 746 bahasa daerah di Indonesia, berdasarkan penelitian tersebut, ada sembilan bahasa di Papua dan satu bahasa di Maluku Utara yang terancam punah. Bahasa, katanya, identik dengan budaya bersangkutan. Hilangnya bahasa juga menghilangkan budaya. Dendy menyimpulkan bahasa ibu (bahasa daerah) dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yakni bahasa ibu yang masih banyak digunakan, terancam punah, dan sudah punah.

Seperti Bahasa ibu dibeberapa daerah yang semakin ditingalkan oleh penutur. Bahasa ibu pun berupakan kebudaya lokal yang perlu dieksplorasi sebagai kekayaan luhur dan sebagai budaya bangsa. Ruang eksplorasi dan pengkajian kearifan lokal menjadi tuntutan tersendiri bagi pengembangan institusional filsafat dan bagi eksplorasi khasanah budaya bangsa. Bahasa ibu juga sebagai salah satu budaya local. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mulai pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Di samping itu, pengetahuan dan pemahaman yang baik mengenai kearifan lokal hanya dapat diperoleh apabila penelitian mengenai kearifan lokal dilakukan dengan menggunakan metode dan prosedur yang tepat. "Sebagian kearifan lokal sebenarnya tersimpan dalam bahasa yang ada pada masyarakat lokal . Ini berarti dengan menganalisis bahasa akan dapat diungkapkan berbagai kearifan lokal masyarakat tersebut, yang kemudian dapat direvitalisasi untuk kepentingan masyarakat itu sendiri.

Menurut Summer Institute of Linguistics (SIL) dalam Bibang (20043), yang berusaha mempertahankan bahasa-bahasa minoritas, hanyalah 3 % dari 6000 bahasa dunia di Eropa. Padahal setengah dari bahasa-bahasa itu digunakan di kawasan Asia Pasifik, terutama di Pulau Papua (Papua New Guinea dan West Papua/Irian Jaya), yang memiliki seperenam bahasa dunia. Keanekaan bahasa tidak selaras dengan tingkat kepadatan penduduk. 96 % bahasa digunakan oleh hanya 4 % penduduk dunia dan lebih dari 80 % dari bahasa-bahasa itu bersifat endemis, misalnya terikat dengan satu suku, ras atau negara. Kecenderungan ini membuat para ahli semakin kuat memperkirakan sekitar 95 % dari bahasa-bahasa yang sekarang masih hidup, akan punah dengan sendirinya.Setiap tahun belakangan ini, ada 10 bahasa yang lenyap. Beberapa ahli malah memperkirakan, 50-90 % bahsa yang digunakan dewasa ini akan punah juga di abad ini. Kalau mau mempertahankan sebuah bahasa, maka minimal pemakainya adalah 100.000 orang. Untuk menghindari dari proses peperangan bahasa ini, maka bahasa-bahasa lokal harus dibiarkan tetap hidup dan berkembang sesauai dengan alamnya. Jika tidak, kita turut memberikan andil mempercepat pembunuhan bahasa-bahasa lokal. Itu berarti, membunuh sejarah perdaban dan eksistensi masayarakat pemakainya. Semoga ini menjadi bahan renungan semua orang yang mengerti dan tahu betapa pentingnya bahasa

Menurut Gerard Bibang, seorang pemerhati bahasa asal Belanda mengatakan bahwa bahasa tak ada bedanya dengan alur kehidupan manusia. Sejak dulu kala, bahsa lahir, hidup, dan lenyap dengan masyarakat pemiliknya. Ini wajar-wajar saja. Misalnya dewasa ini, lenyapnya bahasa-bahasa itu amat cepat. Gejala ini, ternyata merupakan salah satu akibat dari apa yang disebut dengan "Peperangan Bahasa". Sekitar 6.000 bahasa besar di seluruh dunia terancam punah dalam waktu yang tidak terlalu lama. Keanekaan bahasa sebagai bagian dari warisan keanekaan kebudayaan umat manusia, juga terancam punah.

Para ahli bahasa memperkirakan bahwa tidak satu pun bahasa mampu bertahan jika tidak didukung oleh 100 ribu orang pemakainya. Dewasa ini diseluruh dunia setengah dari 6.000 bahasa bahkan lebih, digunakan oleh kurang dari 10 ribu orang pemakainya. Seperempatnya digunakan oleh ratusan juta pemakainya. Punahnya bahasa bukan fenomena baru lagi. Sejak munculnya bermacam-macam bahasa, paling kurang 3000, bahkah lebih hampir setengah juta darinya punah tanpa bekas. Bahasa umumnya bertahan dalam rentang waktu yang relatif singkat, dengan tingkat kepunahan yang semakin tinggi. Hasil penelitian yang tertuang dalam "6000 Languages: an Embattled Heritage" yang termuat dalam Index April 2000. Yang menjadi pertanyaannya dalah mengapa bahasa-bahasa punah di saat masyarakat penggunanya dijajah oleh suku atau bangsa yang lebih berkuasa dan berpengaruh?. Kolonialisme telah melenyapkan sekurangnya 15 % bahasa yang digunakan saat kolonial itu berlangsung. Lebih dari 300 tahun, Eropa kehilangan banyak sekali bahasa. Di Australia dan Afrika yang tertinggal hanya 200 dari 250 bahasa di akhir abad ke-18. Di Brasilia, sekitar 540 bahasa atau sekitar tiga perempat dari jumlah seluruhnya punah sejak. Di Asia Tenggara, sekitar 40 dari 600-700 bahasa yang masing-masing digunakan oleh pemakainya banyak ditentukan oleh kebijakan pemerintahnya masing-masing. Di Asia Timur, hanya 6 bahasa dari 47 bahasa yang memiliki peluang bertahan terhadap pengaruh bahasa Rusia, 20 bahasa lainnya hampir punah, 8 bahasa sudah sekarat.

Keaneka ragaman suku bangsa di Indonesia, dengan 746 bahasa daerah, tidak hanya menunjukkan keaneka ragaman bahasa saja, namun juga mencerminkan keaneka ragaman budaya disertai keberadaan kearifan-kearifan lokal dalam memanfaatkan dan mengelola sumberdaya hayati dengan habitat ekosistemnya yang bermuatan konsep konservasi. Kearifan-kearifan tersebut merupakan norma-norma sosial yang berlaku dan dihormati bagi suatu komunitas yang lintas maupun yang spesifik komunitas. Banyak di antara kearifan-kearifan tersebut bermuatan hakekat nilai luhur sebagai konsep ideal

Jauh di Timur Nusantara Maluku, Maluku adalah salah satu dari ke 32 Propinsi yang ada di kepulauan Indonesia, Ambon sebagai Ibukotanya. Terbentang antara 3derajat – 8derajat 30” Lintang Selatan dan 125derajat 45” – 135derajat Bujur Timur dengan luas lautan: 658.294,69 km dan daratan : 54.185 Km. Diutara berbatasan dengan Propinsi Maluku Utara; di Selatan dengan Timor Leste dan Australia; di Barat dengan Propinsi Sulawesi Tenggara dan Tengah; di Timur dengan Propinsi Papua

Pada ratusan tahun silam, Kepulauan Maluku menyimpan daya tarik magis bagi pemburu kejayaan dan kemakmuran. Kekayaan wilayah Maluku Utara, Selatan, maupun Tengah tercium hingga ke daratan Eropa, yang kelak menjadi pelaku bisnis terbesar di wilayah timur Indonesia. Kendati demikian, sesungguhnya pedagang dari Gujarat, Persia, dan Arablah yang memperkenalkan surga rempah-rempah ini ke dunia luar. Jejak para pedagang Asia ini tertancap pertama kali di sebuah pantai kampung bernama Hitu, sebelah utara Ambon. Kedatangan mereka tak lain karena magnet "emas hijau" alias cengkeh dan pala, rempah-rempah yang begitu melimpah di Kepulauan Maluku. Selain berburu rempah-rempah, kedatangan mereka turut mempengaruhi kehidupan sosial penduduk lokal. Seraya melakukan kontak dagang, mereka juga menyebarkan kepercayaan melalui pergaulan sosial. Alhasil, agama Islam berkembang di Hitu hingga Ternate. Kelak, kedua tempat itu menjadi pusat pengaruh Islam di Nusantara timur.

Kemenangan Belanda juga berbuah pemusatan aktivitas VOC (Verenigde Oost indische Compagnie) di Ambon pada 1610. Monopoli Belanda atas kontrol cengkeh dan pala di semua wilayah Kepulauan Maluku semakin menjadi-jadi setelah pasukan kompeni berhasil mengalahkan Inggris yang coba-coba mengambil alih kekuasaan. Kota Ambon pun disulap Belanda menjadi kota besar dengan status otonomi. Daya tarik utama kota ini adalah panoramanya yang begitu indah. Dari bukit di pinggiran kota Karang Panjang orang bisa melihat Selat Ambon yang indah serta kota besar yang diterangi lampu. Pemandangan menakjubkan di kala senja. Sayangnya, keindahan Ambon itu tidak diiringi kerukunan antarkelompok masyarakatnya. Kepercayaan yang ditinggalkan pedagang Timur Tengah dan Portugis, yakni ajaran Islam dan Kristen, memunculkan letupan-letupan. Untuk mengembalikan kedamaian kepada para pengikut dari kedua agama itu,

Terlepas dari sejarah ke emasan daerah Maluku diatas, saat ini terdapat persoalan yang tengah muncul yang berhubungan dengan masalah budaya pada masyarakat yang ada di Kepulauan Maluku, khususnya masalah derevisit bahasa daerah yang kian terhakis. Hal ini bias terlihat karena. Nusantara merupakan daerah yang luas, terdiri dari berbagai pulau kecil maupun Pulau besar. Di Nusantara terdapat keanekaragaman suku dan juga bahasa yang membina budaya majmuk, walaupun masyarakat Nusantara rata-rata menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Walaupun demikian, masyarakat Nusantara masih menggunakan bahasa daerah yang menjadi ciri khas daerah masing-masing. Umpamanya bahasa-bahasa daerah di Maluku digunakan sebagai bahasa tutur lisan, yang berkedudukan sebagai bahasa sehari-hari. Memang di Indonesia bahasa daerah adalah salah satu unsur budaya negara yang dilindungi. Jumlah Bahasa yang terdaftar di Maluku sebanyak 132 bahasa Sebagaimana terlapor/tahun 2000. Dari 132 bahasa, 129 masih ada sedangkan 3 lainnya punah. (Moksela Punah. Maluku Tengah,Pulau Buru Timur, dekat Kayeli. Alternate names: Maksela, Opselan. Classification: Austronesian, Malayo-Polynesian, Central-Eastern, Central Malayo-Polynesian, Central Maluku, Buru) Palumata [pmc] Punah. Maluku Tengah, northwest Pulau Buru. Alternate names: Palamata, Balamata. Classification: Austronesian, Malayo-Polynesian, Central-Eastern, Central Malayo-Polynesian, Central Maluku, Buru tmg] Punah. Maluku Utara, Pulau Ternate, sebelah Barat dari Pulau Halmahera. Variasi dari Portuguese creole juga digunakan di Banda dan Ambon. Alternate names: Ternatenyo. Dialects: Spanish relexification. Historical relationship with Chavacano and dialects, which are still spoken in the Philippines. Classification: Creole, Portuguese TernateƱo) bahasa-bahasa ini dinyatakan telah penuh.

Seperti yang diungkapkan kepala pusat bahasa bahasa di timur Nusantara banyak bahasa yang sudah punah tak terkecualai di daerah Maluku. Maluku yang terkenal sebagai daerah multilingual (Collins 2003). Pada abad ke-17 mulai disebut beberapa nama bahasa- bahasa yang berada di Pulau Buru, Seram dan Saparua; bahasa yang dituturkan di Maluku muncul dalam dialek yang sangat banyak mungkin sama dengan jumlah kampung yang ada di Maluku. Menurut sarjana Jerman G. Rumphius yang tinggal di Pulau Ambon pada abad ke-17, Pulau Ambon dialek Hatiwe dan di wilayah Islam dialek Hitu, yang dianggap paling bagus. Menurut Rumphius dialek yang dituturkan di Ambon menggunakan banyak vokal dan lafalannya seakan-akan tersekat-sekat (Collins 2006). Namun kini bahasa Hatiwe sudah punah dan tidak dituturkan di kampung Hatiwe lagi

Masyarakat lokal yang beragam telah lama memiliki identitas yang jelas dengan bingkai sentimen primordial (agama, etnis, bahasa dan lain-lain). Bahasa sebagai identitas atau jati diri telah membangun nilai-nilai, norma, dan simbol-simbol ekspresif menjadi ikatan sosial untuk membangun solidaritas dan kohesivitas social di Maluku. Bagi masyarakat lokal, identitas adalah "harga diri" dan "senjata" simbol-simbol bahasa dan budaya. Nilai, norma dan simbol-simbol ekspresif yang terkandung dalam identitas orang Maluku memberikan justifikasi bagi tindakan-tindakan di masa lalu, menjelaskan tindakan masa sekarang dan pedoman untuk menyeleksi pilihan-pilihan masa depan. Tetapi identitas lokal termasuk didalamnya bahasa telah lama hancur atau musnah karena intervensi Negara lain lewat pendekatan reseptif dan formasi kebahasaan yang hirarkis-sentralistik. membangun integrasi lewat penghancuran identitas local dalam hal ini identitas bahasa (bahasa tanah yang semakan terhakis). Memudarnya bahasa-bahasa daerah dengan nilai-nilainya luhur yang dikandungnya sejalan dengan kurang-nya kepedulian, perhatian, disimpulkan dan disarankan sebagai berikut (1) Kearifan lokal sebagai nilai nilai luhur lokal ada yang bermuatan positip maupun yang bersifat “negatip” bagi pembangunan. Di antara yang bermutan negatip, masih mempunyai potensi bagi terobosan pembangunan daerah apabila mampu menyiasati secara sosial dan berkomunikasi secara efektif bagi kepetingan umum melalui kewenangan peme-rintah daerah dan adat, yang bermuatan positip dapat merupakan konsep ideal bagi pembangunan daerah, (2) Perlunya perhatian

Tidak ada komentar: