Rabu, 26 Agustus 2009

Lingkungan Alam dan Pantang Larangan


membosankanlah hal itu bagi anak-anak. Di kota-kota, anak-anak sudah tidak mempunyai peluang lagi untuk mengumpulkan pengalaman-pengalaman, yang bagi anak-anak yang berada di luar kota merupakan hal biasa yang sehari-hari dijumpai. Berjalan-jalan menerobos rumput setinggi lutut, memanjat pohon dan memetik buah, berjungkir-jungkir menuruni bukit atau menyelusuri sebuah sungai kecil.

Anak-anak yang tinggal di desa, dalam hal ini boleh dikatakan lebih mujur. Alam telah membantu mereka. Padang yang luas, sungai-sungai dan bukit-bukit serta semak belukar di sekeliling mereka merupakan arena bermain yang tidak terbatas. Dan kalau kita perhatikan apa yang bisa mereka lakukan dengan semua itu, alangkah beraneka- ragamnya! Mereka ciptakan sendiri caranya, situasi dan alat-alatnya dari yang terdapat di sana. Tetapi bagaimana dengan anak-anak yang tinggal di kota? Keadaannya memang jauh berbeda. Tanah yang hampir setiap jengkal dipergunakan sebagai tempat tinggal, sudah barang tentu memperkecil kesempatan bagi mereka untuk bermain sebebas-bebasnya. Belum lagi situasi lalu-lintas yang ramai yang menjadi penghalang bagi mereka untuk lebih merasa aman bermain.

Manusia dan lingkungan boleh dikatakan memiliki sifat-sifat yang kurang lebih sama, yakni hidup, berkembang dan berfungsi. Hubungan dan pengaruh yang saling berkaitan antara kedua 'jasad alam' itu menimbulkan dampak-dampak, baik yang positif maupun yang negatif. Tetapi yang jelas, dampak positif yang sangat diharapkan dapat membantu kelangsungan hidup secara nyaman, aman dan tentram menuntut adanya tanggung jawab akan pemeliharaan demi kelestarian alam secara keseluruhan.

Sambil berjalan-jalan kita dapat menerangkan segala sesuatu kepada anak terutama hubungannya dengan kehidupan binatang dan tumbuh-tumbuhan. Anak harus diberitahu, bahwa sebatang pohon itu bisa berasal dari sebuah biji yang cukup matang dan tua. Setelah anak mengerti tentang kebutuhan hidup setiap makhluk dan hubungannya satu sama lain, kita dapat meningkatkan pengetahuannya tentang di mana binatang atau tumbuhan itu bisa hidup.


Coba, sesekali kita belajar kepada orang tua tempo dulu. Logika yang dipakai
oleh orang tua tempo dulu dalam mengelola lingkungan memang sederhana yaitu
"pantrangan" (larangan). Kata orang tua dulu, ketika masyarakat mau membuka
hutan sebagai lahan pertanian, mereka melakukannya dengan penuh hati-hati.Misal penebangan pohon tidak dilakukan dengan semena-mena, mereka beranggapan jika pohon ditebang habis tanpa menyisakannya, maka arwah-arwah nenek moyang mereka yang mendiami pohon akan marah (logika yang tidak masuk akal. Lalu masyarakat dilarang untuk mengambil batu-batu dibantaran sungai. Lagi-lagi ini pantrangan yang harus ditaati oleh seluruh masyarakat. Orang tua tempo dulu beranggapan jika mengambil batu di bantaran sungai, maka arwah nenek moyang mereka akan marah, sebab batu-batu yang ada di bantaran sungai tempat duduk arwah dalam menjaga keselamatan masyarakat. Begitupun pantrangan untuk menebang pohon di hulu sungai, sebab menurut orang tua tempo dulu bahwa hulu sungai merupakan tempat para roh leluhur berkumpul. Dan jika ada yang menebang pohon dihulu sungai, maka arwah nenek moyang mereka akan marah dengan mengirimkan air bah yang besar.

Logika yang sederhana yang dikaitkan dengan kepercayaan yang dianut, kalau kita
telusuri makna pantrangan bagi orang tua tempo dulu itu, ternyata pantrangan itu merupakan sebuah philosopy yang harus kita ambil manfaatnya. Philosopy orang tua tempo dulu secara tidak langsung mengajarkan kepada kita bagaimana mengelola alam itu dan ini merupakan penjewantahan dari pemeliharaan ekosistem lingkungan hidup Pantrangan menebang hutan di hulu sungai dan pembukaan hutan oleh orang tua tempo dulu sebagai lahan pertanian tidak ditebang habis, ini mengisyaratkan agar tidak terjadi penggerusan air hujan (erosi. Begitupun larangan mengambil batu di bantaran sungai inipun mengisyaratkan agar bantaran sungaipun jangan sampai tergerus habis ketika datang musim banjir.

Ada lagi kasus pantrangan dari orang tua tempo dulu yaitu makan tunggir ayam. Kata orang tua tempo dulu anak kecil dilarang makan tunggir sebab "famali". Tahukah anda tunggir ayam ? Tunggir ayam yaitu pantat ayam (bukan lobang anus) yaitu ekor ayam. Kalau kita coba untuk memakannya ternyata memang enak, rasanya gurih penuh dengan lemak. Kenapa orang tua tempo dulu melarang anak-anak untuk makan tunggir ayam? Jelas orang tua tempo dulu ini termasuk orang rakus dan pelit.(masa anak-anaknya dilarang makan yang enak).

Selain itu ada pantrangan dari orang tua tempo dulu yaitu dilarang duduk diatas
meja, lagi-lagi famali. Ternyata kalau kita simak, ternyata bukan hanya sekedar
famali, sebab meja bukan tempat alas duduk, dan tidak pantas kalau kita duduk
diatas meja. Atau mungkin meja tersebut reot, jika diduduki takutnya rubuh dan
mendatangkan celaka.

Tidak ada komentar: