Rabu, 26 Agustus 2009

Orang Bugis dan Bahasa Melayu

ORANG Bugis mulai melakukan migrasi besar-besaran gelombang pertama pada tahun 1667. Di perantauan mereka berbicara dengan bahasa Melayu. 261 tahun setelah peristiwa besar itu, bahasa Melayu diadaptasi menjadi Bahasa Indonesia dan menjadi unsur terpenting nasionalisme Indonesia.

Tulisan ini memuat intisari penelitian dua pakar linguistik, James T Collins dari Center for Southeast Asian Studies, Northern Illinois University,Amerika, dan Sukardi Gau dari Balai Bahasa Jayapura dan Institut Alam dan Tamadun (ATMA), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Keduanya diundang untuk memaparkan hasil-hasil penelitian tentang persebaran bahasa Melayu di Indonesia bagian timur dalam Seminar Internasional Kemelayuan di Indonesia Timur, di Gedung IPTEKS Unhas, Tamalanrea, Makassar, Minggu (12/10).

Kajian mengenai keberadaan bahasa Melayu di Indonesia timur terabaikan. Banyak pengkaji sejarah bahasa melihat produk kebudayaan Melayu itu tidak memiliki jejak sedikit pun di Indonesia timur, termasuk Sulawesi. Melayu dianggap hanya berakar di Sumatera dan semenajung Malaka. "Nnusantara timur (demikian sebutan Collins untuk Indonesia timur), sudah lama terkait dengan sistem perdagangan global. Pedagang dari wilayah ini memasok bahan rempah-rempah di pasaran dunia terutama di Cina, India dan eropa," kata Collins.

Dalam proses perdagangan inilah bahasa Melayu digunakan untuk berkomunikasi. Bahasa Melayu di Indonesia timur ini kemungkianan berasal dari wilayah Kalimantan yang digunakan sebagai wahana dalam konteks keberagaman dan perdagangan internasional. Menurut Collins, titik permulaan penggunaan bahasa Melayu di Indonesia timur ini belum dapat dipastikan waktunya. Tetapi sejak kapal asing masuk di nusantara sekitar abad ke-16, masyarakat nusantara timur sudah bertutur dalam bahasa Melayu.

Senada dengan Collins, Sukardi juga tidak dapat menandai titik awal penggunaan bahasa Melayu di Indonesia timur. Yang ia kaji adalah adaperan besar orang Bugis (juga Makassar) dalam penyebarannya. Titik awalnya adalah migrasi pascapergolakan politik tahun 1667. "Pergolakan itu adalah peperangan antara Kerjaan Gowa yang dipimpin oleh Sultan Hasanuddin dengan Belanda. Peperangan ini berakhir dengan kekalahan Gowa yang ditandai dengan Perjanjian Bungaya, 18 November 1667," katanya.

Perjanjian itu ditulis dalam dua bahasa. Bahasa Belanda untuk para pejabat dan opsir Belanda dan bahasa Melayu untuk Sultan Hasanuddin dan pasukannya. Ini membuktikan bahasa Melayu telah menjadi bahasa di Sulawesi bagian Selatan saat itu.

Orang Bugis yang memilih pergi merantau saat itu memilih bekerja sebagai pedagang serta menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa sehari-hari. kedua penyebaran bahasa Melayu ke arah timur Indonesia terjadi saat migrasi secara besar-besaran ke Papua. Bermula sejak penyerahan Irian Jaya (nama Papua saat itu) dari Kerajaan Belanda kepada Pemerintah RI. Pemerintah saat itu menggalakkan program transmigrasi.

Migrasi orang Bugis membawa identitas hidup pallaonruma (petani), pakkaja (nelayan), dan passompe (pelaut pedagang). Passompe ini kebayakan menjadi saudagar yang berusaha di bidang ekspor dan impor. Mereka berdagang antarpulau ke pulau satu musim. Apabila datang musim timo (kemarau), mereka berlayar ke arah barat dan jika sudah datang musim bare' (hujan) mereka pulang ke kampungnya.

Mereka berlayar dari perairan Sulawesi sampai Laut Arafura. Motivasi masyarakat Bugis ke Papua adalah mencari sumber penghidupan. Alasan ini menjadi lebih kuat setelah Indonesia mengalami kemerosotan ekonomi tahun 1963 atau saat pemerintahan Presiden Soekarno.

Mereka memanfaatkan nilai tukar uang setelah Indonesia mengalami inflasi pada tahun 1962 dan 1968. Nilai mata uang rupiah di Papua saat itu relatif tinggi dibandingkan dengan provinsi lain di luar Papua.Orang Bugis di Papua ini mengalami perkembangan pesat, mereka kemudian menetap dan membentuk komunitas. Dalam kehidupan sehari-hari mereka menggunakan dua bahasa (bilingual), yaitu bahasa Bugis untuk sesama orang Bugis, dan bahasa Melayu kepada masyarakat pribumi.

Meskipun banyak pedagang dari pulau lain ke Papua, namun komunitas Bugis lah yang banyak menetap di Papua. Akibatnya bahasa Melayu melekat dan berasimilasi dengan bahasa Papua, yang dikenal dengan bahasa Melayu-Papua.

Kini jejak-jejak bahasa Melayu dapat dilihat di sepanjang rute migrasi, di Pulau Sulawesi dan Maluku. Misalnya saja adanya dialek Melayu yang dituturkan oleh masyarakat Maluku tengah melaui teks buku keagamaan baik itu agama Islam maupun Kristen. Selain itu terdapat juga manuskrip yang ditulis pada abad ke-17 dalam bahasa Melayu, di antaranya, Hikayat Tanah Hitu, Hikayat Nabi Musa, dan Hikayat Nabi Yusuf. Karya-karya ini tersohor di seantero nusantara pada waktu itu.

Di masa ini lahir sastrawan-sastrawan Melayu dari Makassar dan Ambon, seperti Encik Amin pencipta naskah Syair Perang Mangkasara dan Imam Rijali. Temuan ini menunjukkan, masyarakat Makassar dan Ambon sudah menggunakan bahasa Melayu sejak abad ke-17.

Makassar Punya Cerita

Tidak ada komentar: