Senin, 21 Desember 2009

Jawaban bukan Tidak

Aku berharap, jawabannya bukan, tidak…!. Jangan biarkan kapal itu terapung di atas samudera hitam kelam. Ribuan mil telah dilalui dan tak pernah mendapatkan dermaga untuk bersandar. Jangan biarkan kapal itu kehabisan bahan bakar, sampai akhirnya tenggelam dan lenyap bersama ribuan hiu yang telah lama mengintai dengan giginya yang tajam. Berikan dia tanah untuk berlabuh. Berikan dia pulau untuk disinggahi dan membangun rumah. Aku berharap keegoisan hilang darimu. Tolong berikan nafasmu yang bisa menyejukanku. Aku tidak ingin seperti cerita kapal titanic yang tenggelam setelah membentur karang kokoh, karena sungguh aku tidak ingin. Apakah engkau akan membiarkan aku seperti ratusan tubuh yang sia-sia setelah meluncur ke dasar lautan ganas dan dicabik-cabik oleh ikan-ikan kecil yang tak pantas memakanku. Aku masih saja teringat ketika engkau mengatakan ingin hidup selamanya denganku. Aku masih saja teringat ketika engkau tersenyum manis, saat aku menawarkan 12 orang anak agar aku bisa membuat satu tim sepak bola. Dan aku masih sangat teringat ketika kita hempas angin dalam perjalanan panjang, hanya untuk mewujudkan kedua impian itu. Sungguh sangat mengasyikkan.

Aku memang pernah tergelincir dan melapaskan pegangan tanganmu. Aku memang pernah memutuskan untuk tidak menghirup desah nafasmu yang pernah membuatku mabuk. Dan saya pikir, itu cukup adil. Bukankah kamu juga pernah melakukannya. Melakukan hal yang sama, saat kamu juga tergelincir karena tanah licin yang dibuat oleh orang lain. Kita sama-sama biadab. Kita sama-sama keparat. Cobalah untuk mengerti, bahwa bekal yang kita bawa sama-sama pernah kita bagi kepada orang lain. Memang seharusnya tidak terjadi. Tapi bulan telah menjadi dua ketika berada di atas danau yang sangat luas. Dan itu adalah keharusan kecuali danau itu kering. Maka izinkan aku untuk mengeringkan danau itu, agar bulan kembali satu. Tentu….sinarnya akan kembali terang. Tentu….cahayanya tak akan pernah bisa padam. Sungguh….jangan biarkan astronot datang dan menapakkan kakinya. Jangan paksa aku untuk mengusir dan menendang tubuh si anstronot yang terbalut perasaan tak berdosa karena telah berani berdiri pada satu bagian dari dirimu yang belum pernah aku singgahi. Katakan, bagian mana yang selama 3 purnama belum pernah aku sentuh. Aku cukup rela untuk melepaskan baju dan alas kakiku, walaupun aku sadar itu akan membakar tubuhku yang telah kering selama 1 purnama. Aku tercengang saat keadaan memaksamu beranjak menghilang dari cenayan yang selama ini telah aku suguhkan bersama ribuan lebah yang tak pernah berhenti untuk mengeluarkan madu dari dalam gelembung perutnya yang masih tetap besar. Jangan biarkan lebah-lebah itu menyengatku dan melemahkan semangatku.

Aku benar-benar merasa, saat ini seperti kolam yang hanya menampung air yang terus mengucur dari kran tanpa penutup. Terlalu penuh rasanya hingga tumpah dan sia-sia belaka. Aku hanya membiarkan tumpahannya mengalir entah kemana, entah kepada siapa, dan entah berapa lama. Aku ingin engkau datang dan menutup kran itu, lantas mencelupkan tubuhmu ke dalamnya. Basuhlah mukamu sampai bersih. Mandilah sepuasmu. Berkumurlah sebanyak-benyaknya, hingga aku bisa merasakan kembali bau nafasmu yang dulu membuatku melayang. Aku merindukan sentuhan itu. Kehangatan itu sudah terlanjur menancap dan bersembunyi di balik pori-poriku, menyuburkan setiap helai rambut yang tumbuh di kulitku. Malam masih saja terluka. Cairan merah kental itu pun masih terus menetes dan jatuh di atas daun kering yang terkapar di tanah kering. Kekeringan kini seakan telah menjadi kekal. Kekeringan kini membalut sayatan-sayatan panjang yang menghiasi tubuh sang malam yang dingin. Ini justru hanya akan menambah rasa sakit dan memperparah luka sayatan itu. Tidakkah engkau mendengar tangisannya yang sendu dalam pancaran bulan yang tak lagi terang, tidak seperti purnama pertama yang tegak dan indah dengan hiasan kunang-kunang yang terbang mengelilingi perahu yang berjalan berlahan di sebuah danau dengan ribuan ikan-ikan kecil yang berwarna-warni sambil berteriak kergirangan menyaksikan dua orang yang mendayung diatas perahu. Sangat indah. Purnama itu pun ikut tersenyum renyah.

Tidak ada komentar: