Selasa, 15 Desember 2009

Datang Naik Pesawat, Pulang Jalan Darat

INI salah satu pengalaman pahit yang dialami tenaga kerja
Indonesia (TKI) yang bekerja di Brunei Darussalam.
Mereka umumnyatiba di negara kaya minyak itu
dengan gagah dan penuh harapan. Impianbisa mengubah
hidup menjadi lebih baik, terus menyelimuti benak
mereka. Apalagi mereka ke negara tetangga itu datang
dengan pesawat terbang yang menelan biaya tidak sedikit.

SEJUMLAH uang berjuta-juta rupiah, juga telah mereka
serahkan kepada agen pengerah tenaga kerja yang mampu
mengirimkan TKI-TKI itu ke Brunei. Dengan membayar uang
antara Rp 7,5 juta-Rp 14 juta,termasuk untuk ongkos pesawat,
mereka meninggalkan kampung halaman dengan sejuta harapan.

Dua tahun bekerja di Brunei, sesuai dengan kontrak kerja yang
ditandatanganinya di depan agen pengerah tenaga kerja, tentu akan
mendatangkan uang tidak sedikit. Semua TKI yang berangkat ke Brunei
mungkin juga yang mengadu nasib ke negala lainnya-bermimpi bisa
mengubah kehidupan keluarga dan dirinya menjadi lebih baik.

Sama seperti ketika berangkat, ketika pulang kembali ke Indonesia
mereka pun berpikir akan menggunakan pesawat. Dalam kontrak kerja
yang dijanjikan agen, biaya tiket pesawat saat pulang pun nantinya
akan ditanggung majikan di Brunei. Semuanya serba menyenangkan, dan
membuat TKI merasa gagah-gagah, termasuk TKI perempuannya.

"Tetapi beginilah kenyataannya. Pada saat datang ke Brunei
kami masih dibuai mimpi, naik pesawat terbang lagi.
Setibanya di Brunei ternyata semuanya omong kosong.
Tidak ada pekerjaan sesuai janji yang kami terima.
Lihat sendiri untuk pulang kembali ke kampung halaman
pun, kami terpaksa menggunakan jalan darat," kata Darman
(26), TKI asal Ponorogo, Jawa Timur.

Pada 27 September, Darman bersama temannya satu desa di
Ponorogo,Budi (23), memulai perjalanan panjangnya menggunakan
jalan darat dan laut, agar bisa kembali ke kampung halaman.
Mereka terpaksa menggunakan uang hasil keringat sendiri, agar
bisa sampai Ponorogo dengan menggunakan bus dari Bandar Seri Begawan.

Rute yang dilalui menggunakan jalan darat, antara lain dari
Bandar Seri Begawan menggunakan bus dengan tujuan ke Seria,
dilanjutkan ke Kota Kuala Belait, keduanya masih di Brunei
Darussalam. Dari Kota Kuala Belait, perjalanan masih dilanjutkan
dengan tetap menggunakan bus, di antaranya harus melewati dua sungai
di wilayah Brunei yakni Kuala Belait dan Kuala Baram, yang dilalui
dengan menggunakan feri.

Sesudah melewati pemeriksaan petugas imigrasi di Sungai Tujuh di
perbatasan kedua negara, perjalanan bus dilanjutkan hingga ke Miri,
Sarawak, Malaysia. Dari Miri, kedua pemuda itu melanjutkan perjalanan
menaiki menggunakan bus, dengan tujuan Kuching, ibu kota Negara
Bagian Sarawak. Dari Kuching, mereka pun kembali menempuh jalan darat
hingga ke Pontianak, Kalimantan Barat. Dari Pontianak mereka tinggal
memilih, menggunakan kapal laut dengan tujuan Jakarta atau Surabaya.
Dari kedua kota besar di Tanah Air itu, perjalanan pulang kembali
dilanjutkan dengan menggunakan bus.

"Kata teman yang pernah pulang menggunakan jalan darat,
perjalanan sampai ke Ponorogo memakan waktu sekitar tujuh hari. itu
pun kalau kapal laut dari Pontianak memang telah tersedia ketika kami
sampai di sana," ujar Darman, kepada Kompas, sebelum berpisah di
terminal bus Miri
***

MENGGUNAKAN jalan darat, dipastikan akan jauh lebih sedikit
memakan biaya, jika dibandingkan menggunakan pesawat terbang yang
mencapai sekitar Rp 1,5 juta. Tetapi, Darman dan Budi tidak bisa
memperkirakan, berapa besar ongkos yang dibutuhkan mereka hingga tiba
di kampung halaman. Mereka hanya baru mengetahui, perjalanan pertama
dari Bandar Seri Begawan-Miri, menghabiskan 17 ringgit Brunei atau
sekitar Rp 85.000.

Lantas kalau perjalanan pulang dari Brunei dipastikan akan
melelahkan-meskipun lebih murah-mengapa mereka memilihnya? Tiket
pulang naik pesawat tentu tinggal mereka minta kepada majikan di
Brunei.

"Mana ada majikan di Brunei yang mau membelikan tiket pesawat
pulang. Mereka yang pulang menggunakan pesawat, umumnya menggunakan
uang hasil keringat sendiri. Bohong itu perjanjian dengan agen, tiket
akan ditanggung majikan," kata Budi menimpali.

Pernyataan Budi mungkin ada benarnya, meskipun mungkin tidak
semua majikan berbuat tega dengan tidak memberi tiket pulang kepada
TKI yang hendak pulang ke Indonesia. Sejumlah TKI yang hendak pulang
menggunakan pesawat dengan tujuan Surabaya, mengaku pulang dengan
biaya sendiri. Majikan mereka di Brunei umumnya cuci tangan alias
tidak mau menanggung biaya mereka pulang menggunakan pesawat, sesuai
dengan kontrak kerja yang telah disepakati.

"Jangan harap tiket pesawat untuk pulang dibayari majikan.
Kebanyakan TKI yang pulang ke Indonesia, memakai biaya sendiri," ujar
Samsul (28), salah seorang dari mereka.

Seorang perempuan TKI yang pernah bekerja di Brunei sebagai amah
(pembantu rumah tangga), Ulwiyah (26), asal Indramayu, Jawa Barat,
juga mengungkapkan pengalaman yang sama. Pada 1998 lalu dia pergi ke
negara itu, juga dengan kontrak kerja selama dua tahun.

Namun, baru satu tahun, majikannya menyatakan tidak sanggup lagi
melanjutkan kontrak. Majikannya tidak mampu lagi membayar Ulwiyah,
sehingga dia menghendaki amah itu pulang ke Indonesia.

"Karena dia yang ingin memutuskan kontrak, seharusnya majikan
saya itu yang membayari tiket pulang. Kenyataannya,
dia tidak mau membelikan tiket. Meskipun saya sempat
perang mulut dengan dia, tetap saja dia menyatakan tidak
mampu membelikan tiket. Akhirnya saya pulang dengan membeli
tiket pesawat sendiri," tutur ibu satu anak
yang menyebutkan telah kapok untuk kembali bekerja di Brunei
Darussalam. (mul)

Tidak ada komentar: